Penulis : Al Ustadz Abu Ishaq Muslim
Al-Atsari
Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari ayahnya
Jarir bin Abdillah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam pernah bersabda:
مَنْ
سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ
فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
"Siapa yang melakukan satu sunnah
hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang
mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka
sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia
mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut
setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun."
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan dalam
Shahih Muslim no. 2348, 6741, Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no.
2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan
juga diriwayatkan oleh yang lainnya.
Sunnah Hasanah dan Sunnah Sayyiah
Yang dimaksud dengan sunnah hasanah dalam sabda
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam :
مَنْ
سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
(Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah
dalam Islam) yakni menempuh satu jalan yang diridhai, yang jalan tersebut ada
contoh/asalnya dalam agama ini (bukan perkara yang diada-adakan/bid'ah) dan
akan menjadi contoh bagi orang lain.
Sedangkan sunnah sayyiah dalam sabda beliau:
ومَنْ
سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
(siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah
dalam Islam) yakni jalan yang tidak diridhai yang tidak ada asalnya dalam agama
ini. (Tuhfatul Ahwadzi, hal. 2034, kitab Al-'Ilm, bab Fi Man Da'a Ilal Huda
Fatutbi'a aw Ila Dhalalah, Syarhu Sunan An-Nasa‘i lil Imam As-Sindi, 5/76)
Yang membedakan antara sunnah hasanah dengan
sayyiah adalah adanya kesesuaian dengan pokok-pokok syar'i atau tidak. (Syarhu
Sunan Ibni Majah lil Imam As-Sindi 1/90)
Namun jangan dipahami dari hadits di atas bahwa
ada bid'ah hasanah dan ada bid'ah sayyiah. Prof. Dr. Syaikh Shalih Al Fauzan
hafizhahullah (seorang ulama besar terkemuka, anggota Majelis Kibarul ‘Ulama,
juga anggota Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa Kerajaan Saudi
Arabia) berkata: "Tidak ada dalil bagi orang yang membagi bid'ah menjadi
bid'ah hasanah (yang baik) dan bid'ah sayyiah (yang jelek). Karena yang namanya
bid'ah itu semuanya sayyiah, dengan dalil sabda Rasulullah:
كُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
"Seluruh bid'ah itu sesat
dan semua kesesatan itu di dalam neraka."1
Adapun sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
مَنْ
سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
maka yang dimak-sud adalah: Siapa yang
menghidupkan satu sunnah. Nabi bersabda demikian disebabkan salah seorang
shahabat beliau yang datang dengan membawa sedekah di satu waktu dari saat-saat
krisis, kemudian perbuatannya ini diikuti oleh orang lain sehingga mereka
berturut-turut memberikan sedekah."
Beliau juga menyatakan: "Hadits ini tidak
menunjukkan sebagaimana yang dikatakan oleh mereka (bahwasanya ada bid'ah
hasanah) karena Nabi dalam hadits tersebut tidak menyatakan:
مَنْ
ابْتَدَعَ بِدْعَةً حَسَنَةً
Siapa yang mengada-adakan bid'ah
hasanah, namun beliau hanya menyatakan:
مَنْ
سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
sementara sunnah bukanlah bid'ah. Sunnah adalah
apa yang mencocoki Al-Kitab dan As-Sunnah, mencocoki dalil, demikianlah yang
namanya sunnah. Maka barangsiapa yang mengamalkan satu sunnah yang ditunjukkan
oleh Al-Kitab dan As-Sunnah - dengan menghidupkannya atau mengajarkannya kepada
manusia dan menerangkannya kepada manusia hingga mereka mengamalkan sunnah tersebut
karena mencontohnya (orang yang menghidupkan sunnah tersebut, -pent.) -, maka
ia akan mendapatkan pahala sunnah tersebut dan pahala orang-orang yang
mengamalkannya sampai hari kiamat. Sababul wurud (sebab terjadinya) hadits ini
sudah dikenal, yaitu ketika orang-orang Arab yang miskin datang menemui Nabi.
Beliau trenyuh melihat keadaan mereka dan merasa sangat sedih karenanya. Maka
beliau pun memerintahkan dan mendorong para shahabatnya untuk bersedekah. Lalu
berdirilah seseorang dari kalangan shahabat untuk memberikan sedekahnya berupa
makanan sepenuh telapak tangannya. Kemudian manusia pun berturut-turut
memberikan sedekah karena mencontoh orang ini, karena memang dialah yang
pertama kali membuka jalan bagi mereka. Saat itulah Nabi Shallallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ
سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
"Siapa yang melakukan satu
sunnah hasanah dalam Islam..."
Orang ini telah melakukan amalan sunnah, yaitu
bersedekah dan membantu orang yang membutuhkan. Sedangkan sedekah diperintahkan
dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka sedekah merupakan sunnah hasanah, bukan
bid'ah. Siapa yang menghidupkan, mengamalkan, dan menerangkannya pada manusia
hingga mereka pun mengamalkan dan mencontohnya dalam melakukan amalan/sunnah
tersebut, orang itu mendapatkan pahala semisal pahala mereka." (Dhahiratut
Tabdi' wat Tafsiq wat Takfir wa Dhawabithuha, hal. 42, 47-48)
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi t dalam kitabnya
yang masyhur Al-I'tisham (1/233 dan 235) menyatakan bahwa dalam sabda
Nabi di atas tidaklah sama sekali menunjukkan bolehnya mengada-adakan
perkara baru, tapi justru menunjukkan pengamalan suatu sunnah yang tsabit
(pasti) keberadaannya, sehingga sunnah hasanah bukanlah perkara mubtada'ah
(yang diada-adakan/ bid'ah).
Al-Imam An-Nawawi t berkata ketika mensyarah
(menjelaskan) hadits yang agung ini: "Dalam hadits ini ada dorongan untuk
mengawali melakukan amalan-amalan kebaikan dan mengerjakan sunnah-sunnah
hasanah (menghidupkan perkara kebaikan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang
dan menghidupkan sunnah yang telah mati, - pent.). Dan (dalam hadits ini juga)
terdapat peringatan untuk tidak melakukan perkara kebatilan dan
kejelekan."
Beliau juga menyatakan bahwa hadits ini
menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang yang memulai melakukan satu amalan
kebaikan dan menjadi pembuka pintu amalan ihsan/kebaikan bagi lainnya. Dan
barangsiapa yang melakukan sunnah hasanah, ia akan mendapatkan pahala semisal
dengan pahala-pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan sunnah
tersebut (karena mencontohnya) semasa hidupnya ataupun setelah matinya sampai
hari kiamat. Dan sebaliknya, barangsiapa membuat sunnah sayyiah, niscaya ia
akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya dalam melakukan
sunnah tersebut semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat.
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 7/105-106, 16/443-444)
Sunnah Hasanah Para Nabi dan Atsar
Hamidah (Dampak Positif) Dakwah Mereka
Hadits di atas mencakup amalan dan perbuatan
lainnya, dan mencakup pula perkataan, pendapat dan keyakinan. Sehingga, apapun
amalan kebajikan yang ada dan sesuai dengan syariat ini, atau amalan apa saja
yang didorong dan diridhai oleh syariat ini, bila dilakukan oleh seseorang lalu
ditiru dan dicontoh oleh orang lain berarti ia telah melakukan sunnah hasanah. Dan
ia pantas, dengan izin Allah, mendapatkan janji yang tersebut dalam hadits:
مَنْ
سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً ...
"Siapa yang melakukan satu
sunnah hasanah dalam Islam..."
Para nabi dan rasul diutus oleh Allah untuk
mengajak manusia kepada cahaya dan petunjuk setelah sebelumnya manusia
tenggelam dalam kegelapan dan kesesatan. Di tengah rusaknya umat manusia dan
berkubangnya mereka dalam kesyirikan, kekufuran dan kebid'ahan, para nabi dan
rasul ini tampil berdakwah mengajak mereka kembali kepada Allah dengan
mentauhidkan-Nya. Mereka mengadakan perbaikan di tengah kerusakan. Mereka
tampil sebagai pribadi-pribadi yang mulia, berakhlak agung dan tinggi, yang
menjadi suri teladan bagi umat manusia.
Di antara manusia ada yang menerima dakwah
tersebut hingga mereka pun berpegang dengan tauhid dan meninggalkan kesyirikan.
Bahkan di antara mereka ada yang mengikuti jejak rasul dengan berdakwah di
tengah umat guna menyampaikan al-haq sebagaimana yang diajarkan para rasul
tersebut.
Dan cukuplah sebagai contoh bagi kita semua di
sini, dakwah Nabi kita Muhammad di tengah masyarakat jahiliyyah, di tengah
musyrikin Arab yang paganis dan sangat memuja leluhur mereka. Betapa tantangan
besar beliau hadapi di awal dakwah dan betapa sedikit orang yang menolong
dakwah beliau. Namun semuanya beliau hadapi dan jalani dengan penuh kesabaran
dan keyakinan, yang juga pada akhirnya Allah kakan memenangkan al-haq dan
melumatkan al-bathil. Sedikit demi sedikit, namun pasti, orang yang mengikuti
dakwah beliau bertambah hingga akhirnya manusia berbondong-bondong masuk ke
dalam agama Allah sebagaimana Allah kabarkan dalam firman-Nya:
إِذَا
جآءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ. وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ
اللهِ أَفْوَاجًا. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ
تَوَّابًا
"Apabila telah datang pertolongan Allah
dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan
berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun
kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat." (An-Nashr: 1-3)
Rasulullah menyampaikan dakwah tidak sebatas pada
suku Quraisy, tapi juga kepada bangsa Arab lainnya. Bahkan kepada orang-orang
ajam (non Arab), baik dari kalangan kaum musyrikin ataupun dari ahlul kitab
dengan mengirimkan surat yang berisi ajakan kepada Islam. Beliau kirimkan
da'i-da'i ke berbagai negeri untuk mengajari manusia tentang agama Allah.
Demikianlah, sampai akhirnya Allah wafatkan
beliau dengan meninggalkan murid-murid dari kalangan shahabat yang siap
meneruskan dakwah beliau kepada umat. Para shahabat mengajari para tabi'in,
para tabi'in mengajari atba'ut tabi'in, para atba'ut tabi'in mengajari
orang-orang setelah mereka, dan seterusnya hingga zaman kita ini, dakwah
Rasulullah akhirnya tersampaikan. Agama beliau dipeluk, akhlak beliau ditiru,
perjalanan hidup beliau dipelajari untuk menjadi teladan ...
Sungguh beliau meninggalkan sunnah hasanah bagi
umat ini hingga beliau mendapatkan pahala dari apa yang telah beliau amalkan
dan perjuangkan, berikut pahala-pahala umat beliau sampai hari kiamat dari
kalangan orang-orang yang yang beriman kepada beliau, membenarkan, mengikuti,
dan mengamalkan ajaran beliau.
Dakwah tauhid yang ditegakkan oleh Rasulullah
meninggalkan atsar (pengaruh) yang baik pula, berupa persatuan dan kejayaan
yang didapatkan oleh generasi awal umat ini dan keberkahan dalam kehidupan
mereka, sebagaimana hal ini jelas bagi kita bila membaca sejarah umat ini.
Demikianlah janji Allah yang tertulis dalam kitab-Nya:
وَعَدَ
اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأََرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ
قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ
وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهْمَ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِيْ وَلاَ
يُشْرِكُوْنَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُوْنَ
"Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia
benar-benar akan mengganti keadaan mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan
menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku tanpa mempersekutukan
sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yang tetap kafir sesudah janji itu,
maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (An-Nur: 55)
Ulama Pewaris Para Nabi
Setelah terputusnya nubuwwah, tampillah ahlul
ilmi di setiap zaman dan tempat, yang berdakwah dengan dakwah para nabi dan
rasul serta beramal dengan amalan mereka. Karena para ulama ini mewarisi ilmu
para nabi dan rasul serta mengambil sunnah-sunnah mereka, maka dengan mereka
inilah Allah menegakkan hujjah-Nya kepada umat dan dengan mereka pula Allah
merahmati umat ini. Mereka menegakkan dakwah yang mubarakah (diberkahi) di
tengah umat sehingga mereka pantas mendapatkan balasan yang pantas dan derajat
yang tinggi di sisi Allah. Mereka jadikan para rasul Allah sebagai uswah
hasanah dan qudwah shalihah. Mereka berdakwah kepada Allah dengan hati yang
ikhlas, lisan yang jujur dan amalan badan guna menyampaikan dakwah dengan penuh
hikmah dan mau'izhah hasanah (memberikan nasehat yang baik), tanpa bosan, tanpa
jemu, tanpa putus asa, tanpa ragu dan tanpa mengurang-ngurangi. (Al-Manhajul
Qawim fit Ta‘assi bir Rasulil Karim n, karya Syaikh yang mulia Zaid ibnu
Muhammad Al-Madkhali, seorang ulama dan tokoh terkemuka dari Jizan, negeri di
selatan Saudi Arabia, hal. 18-19)
Satu contoh dari ulama rabbani tersebut adalah
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Beliau berdakwah dengan dakwah para nabi
dan rasul, yakni dakwah tauhid mengajak manusia untuk mengesakan Allah dan
menjauhi kesyirikan, di tengah masyarakatnya yang bergelimang dalam kesyirikan,
kebid'ahan, dan khurafat. Penentangan yang beliau hadapi sangat besar. Sampai
akhirnya Allah menolong dakwah beliau dengan memberikan dukungan penguasa pada
waktu itu terhadap dakwah beliau. Atsar (pengaruh) dakwah beliau yang paling
nyata dan bisa kita lihat sampai hari ini adalah berdirinya negeri tauhid
Mamlakah Saudi Arabia yang di sana ditegakkan syariat Islam dan diberlakukan
hukum-hukum Allah.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah
melakukan sunnah hasanah di tengah masyarakatnya yang telah melupakan tauhid
dengan mengajak mereka kembali kepada tauhid. Banyak orang yang mengikuti dakwah
beliau dan akhirnya terjun pula ke medan dakwah untuk mengajari umat dengan
ilmu yang telah diajarkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Barakah
dakwah beliau tidak hanya sebatas di negeri Saudi, bahkan sampai ke
negeri-negeri lainnya dari negeri kaum muslimin termasuk negeri kita ini, dan
negeri kafirin seperti Perancis, Inggris dan yang lainnya. Bahkan kitab-kitab
para ulama Islam pun yang mendakwahkan Islam yang shahih yang terdahulu sampai
sekarang - sebagai hasil dan manfaat dakwah beliau tersebar di penjuru
negeri-negeri tersebut - dibaca dan dipelajari oleh kaum muslimin. Para pemuda
Islam pun bersemangat kembali untuk mempelajari agama Allah yang murni, kembali
kepada apa yang dibawa dan dijalani oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Kembali
kepada pemahaman salafus shalih, menghidupkan sunnah, mempelajari, mengamalkan,
dan mendakwahkannya. Lihat sejarah beliau yang begitu harum, yang ditulis para
ulama kaum muslimin, di antaranya Al-Imam Muhammad ibnu Abdil Wahhab Da'watuhu
wa Siratuhu oleh ulama besar diabad ini Mufti (ketua fatwa) Kerajaan Saudi
Arabia Asy-Syaikh yang mulia Abdul ‘Aziz ibnu Baz, ‘Aqidah Muhammad ibnu Abdil
Wahhab As-Salafiyyah oleh Rektor Universitas Islam Madinah Prof. Dr. Asy-Syaikh
Shalih ibnu Abdillah Al-'Abud, Masyakil Da'wah Wad Du'at fi ‘Ashril Hadits oleh
mantan Dekan Fak. Hadits dan Ketua Bagian Akidah, Program Pasca-sarjana
Universitas Islam Madinah, Dr. Asy-Syaikh Muhammad Aman ibnu ‘Ali Al-Jami,
Dahru Iftira`at Ahliz Zaigh Wal Irtiyab ‘an Da'watil Imam Muhammad ibnil Abdi
Wahhab oleh mantan Ketua Bagian Sunnah pada Program Pascasarjana, Universitas
Islam Madinah Prof. Dr. Syaikh Rabi' ibnu Hadi Al-Madkhali hafizhahullah, dan
yang lainnya. Demikianlah sunnah hasanah yang dilakukan oleh ulama rabbani dan
atsar hamidah yang mereka tinggalkan.
Sunnah Sayyiah Hizbiyyun
Bila para ulama Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah
melakukan sunnah hasanah di tengah umat, yang dilakukan oleh kaum hizbiyyun
adalah sebaliknya. Di antaranya Al-Ikhwanul Muslimun (atau lebih pantasnya mereka
disebut Al-Ikhwanul Muflisun, orang-orang yang bangkrut dunia dan agamanya,
sebagaimana hal ini dikatakan oleh guru besar kami, ulama dan imam ahlul hadits
dari negeri Yaman, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i). Mereka melakukan
sunnah sayyiah di tengah umat ini. Mereka tumbuhkan perkara yang tidak ada
asalnya dalam syariat agama ini di tengah umat, hingga mereka pantas
mendapatkan ancaman dari sabda Nabi:
مَنْ
سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَ وِزْرُ
مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ
شَيْءٌ
"Dan siapa yang melakukan satu sunnah
sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang
mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka
sedikitpun."
Di antara sunnah sayyiah yang diada-adakan dan
didakwahkan oleh Ikhwanul Muflisin, mereka mengajak para pemuda untuk berdakwah
dengan mendendangkan nasyid dan berdakwah dengan sandiwara, drama, ataupun
sinetron. Dan lihatlah hari-hari ini pengaruh dari sunnah sayyiah mereka....
Para pemuda membentuk grup-grup nasyid, dan maraknya pentas - atau yang biasa
mereka sebut konser nasyid - di berbagai kota di negeri kita ini, sehingga para
pemuda sibuk bernasyid ria. Sementara Al-Qur`an jarang mereka baca, kitab-kitab
hadits dan ulama tidak pernah mereka telaah. Dengan nasyid, mereka telah
dipalingkan dari perkara kebaikan dan amalan shalih. Konyolnya lagi, nasyid
yang mereka namakan Islami tersebut diiringi dengan alat-alat musik muharramah
(yang diharamkan). Dan para pemuda ini, sambil bergaya dan bergoyang di hadapan
para wanita ataupun para akhwat yang menontonnya, mereka berupaya mengeluarkan
segala upayanya dalam bidang tarik suara ini.
Dalam acara yang lain - walaupun menurut mereka
adalah dalam rangkaian dakwah - para pemuda tersebut disibukkan dengan pentas
drama, membintangi sinetron atau film. Sehingga di antara mereka ada yang kita
dapati berperan sebagai Abu Bakr Ash-Shiddiq, sebagai ‘Umar Al-Faruq, sebagai
‘Utsman dan lainnya. Atau sebagai para tokoh musyrikin seperti Abu Jahal, Abu
Lahab atau kafirin seperti Heraklius dan pasukannya, ataupun para Yahudi,
bahkan seperti setan juga iblis la'natullah ‘alaihi. Dan sekali lagi, semua ini
dalam anggapan mereka sebagai sarana untuk menyampaikan dakwah kepada umat ini.
Mereka tidak peduli dengan keharaman yang mereka langgar karena kaidah yang
mereka pegangi: untuk mencapai tujuan boleh menghalalkan segala cara. Untuk
berdakwah, menyampaikan Islam kepada umat, boleh memakai cara-cara yang haram.
Ulama besar terkemuka di dunia ini, imam dan guru
besar imam-imam ahlul hadits pada zaman ini, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani ketika ditanya tentang nasyid Islami atau diniyah, beliau memberikan
komentarnya: "Yang kami lihat atas apa yang dinamakan nasyid diniyah pada
hari ini, sebenarnya dulunya merupakan ciri-ciri khusus yang melekat pada
tarekat sufiyah. Namun kebanyakan para pemuda yang beriman dulunya juga
mengingkarinya, karena dalam nasyid tersebut terdapat pujian yang melampaui
batas kepada Rasul dan ber-istighatsah kepada beliau, tidak kepada Allah.
Kemudian muncul dan berkembanglah nasyid-nasyid baru. Dan menurut keyakinanku,
ini adalah pengembangan dari nasyid-nasyid terdahulu tersebut, walaupun ada
beberapa perubahan seperti menjauhi senandung kesyirikan dan pemujaan kepada
selain Allah yang didapati pada senandung nasyid-nasyid terdahulu." (dari
kitab Hadzihi Da'watuna Wa ‘Aqidatuna hal. 52-53)
Beliau juga menyatakan: "Siapa saja yang mau
membahas dan meneliti di dalam Kitabullah, hadits Rasul ataupun petunjuk dan
jalan salafus shalih, mutlak dia tidak akan mendapati apa yang dinamakan nasyid
diniyah ini, walaupun mungkin sudah ada perubahan pada senandung nasyid
tersebut dari nasyid-nasyid dahulu yang mengandung (perbuatan) melampaui batas
memuja dan menyanjung kepada Rasul." (Hadzihi Da'watuna Wa ‘Aqidatuna,
hal. 62)
Syaikh yang mulia Muhammad ibnu ‘Utsaimin t
(Anggota Dewan Majelis Kibarul Ulama Kerajaan Saudi Arabia) berkata:
"Nasyid Islami (yang digandrungi orang-orang saat ini) adalah nasyid
bid'ah. Hal ini menyerupai apa yang diada-adakan kalangan sufi. Oleh karena
itu, sepantasnya (seseorang) berpaling dari nasyid tersebut kepada nasehat-nasehat
yang datang dari Al-Kitab dan As-Sunnah, kecuali di medan-medan peperangan yang
dibutuhkan penyemangat untuk maju ke garis terdepan atau ketika berjihad di
jalan Allah, maka hal ini tentunya baik. Dan apabila nasyid tersebut diiringi
dengan duff (rebana), tentunya lebih jauh lagi dari kebenaran."
(Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘an As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah, hal. 21-22)
- Beliau juga berkata: "Adapun hukum nasyid, kami memandang (agar) tidak diamalkan dan tidak didengarkan, karena:
- Melalaikan manusia dari (mendengar dan membaca, - pen.) Al-Qur`an dan mengambil nasehat darinya
- Dalam kesempatan yang lain beliau berkata: "Memalingkan hati manusia dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang dari keduanya diperoleh nasehat yang hakiki, sehingga nasyid tidak sepantasnya dijadikan sebagai nasehat oleh seseorang."
- Menyerupai lagu-lagu dan nyanyian secara sempurna, sebagaimana disampaikan kepadaku bahwasanya sekarang nasyid telah digubah menjadi senandung lagu dan nyanyian.
- Manusia dibuat terlena dan mabuk kepayang dengannya. Sebagaimana mereka juga dibuat seakan-akan beribadah, kembali dan tunduk (kepada Allah) dengan nasyid tersebut. Dan demikianlah yang sering kita dapati dari nasyid tersebut. Oleh karena itu, kami memandang agar manusia tidak mendengarkannya dan tidak menjadikannya sebagai suatu kesenangan. Akan tetapi, jika suatu saat mereka merasakan lemah jiwanya dan ingin mendengarkannya (untuk menghibur diri dan menguatkannya), maka tidak mengapa dengan syarat nasyid tersebut tidak diiringi alat-alat musik. Dan dalam kesempatan yang lain beliau menyatakan: "... Tidak disenandungkan sebagaimana lagu dan nyayian ataupun menggunakan alat-alat musik, karena yang demikian diharamkan."
- Nasyid merupakan agama warisan kaum sufiyah. Karena merekalah yang mengumpulkan dzikir-dzikir mereka semisal nasyid-nasyid ini. (Bayanul Mufid fi Hukmit Tamtsil wal Anasyid hal. 10 dan 12, dinukil dari kitab Fatawa ‘Ulamal Islam Al-Amjad fi Hukmit Tamtsil wal Insyad hal. 15-16)
Prof. Dr Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
(seorang ulama besar terkemuka, anggota Majelis Kibarul Ulama, juga anggota
Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) berkata:
"Perkara yang pantas mendapatkan peringatan adalah apa yang beredar di
kalangan para pemuda yang agamis berupa kaset-kaset rekaman nasyid yang
didendangkan secara bersama-sama, satu suara, yang mereka istilahkan Al-Anasyid
Al-Islamiyyah (nasyid-nasyid Islami). Padahal sungguh ini merupakan satu jenis
nyanyian. Bahkan terkadang nasyid itu didendangkan dengan suara yang membuat fitnah.
Nasyid ini dijual di toko-toko bersama dengan kaset rekaman Al-Qur`anul Karim
dan muhadharah diniyyah (ceramah agama).
Penamaan nasyid ini dengan nasyid Islami adalah
penamaan yang salah. Karena Islam tidak pernah mensyariatkan nasyid kepada
kita, namun yang disyariatkan adalah dzikrullah, membaca Al-Qur`an dan
mempelajari ilmu yang bermanfaat.
Adapun nasyid, maka ia berasal dari agama bid'ah
sufiyyah, yang mereka menjadikan agama mereka sebagai permainan dan sesuatu
yang sia-sia. Menjadikan nasyid sebagai bagian dari agama merupakan perbuatan
tasyabbuh (penyerupaan) dengan Nasrani, yang menjadikan agama mereka sebagai
nyanyian secara berkelompok (paduan suara) dan senandung-senandung yang merdu.
Maka wajib memperingatkan (kaum muslimin) dari nasyid-nasyid ini, dan wajib
melarang penjualan dan pendistribusiannya. Ditambah lagi keberadaan nasyid ini
terkadang berisi senandung yang membakar dan mengobarkan api fitnah dibarengi
dengan semangat yang ngawur, juga mengakibatkan ditaburkannya benih
perselisihan di kalangan muslimin.
Terkadang orang yang melariskan nasyid-nasyid ini
berdalil dengan perbuatan para shahabat yang mengucapkan syair-syair di sisi
Nabi dan beliau mendengarkan dan menetapkannya. Maka dijawab bahwa syair-syair
yang diucapkan di sisi Rasulullah tidaklah disenandungkan dengan satu suara
secara bersama-sama seperti bentuk nyanyian. Juga, hal tersebut tidak dinamakan
nasyid Islami, tapi hanyalah syair-syair Arab yang berisi hikmah, permisalan,
gambaran keberanian dan kedermawanan. Para shahabat pun mendendangkannya
sendiri-sendiri karena dalam syair itu ada makna-makna yang telah kita
sebutkan. Mereka mengucapkan sebagian syair ketika sedang melakukan pekerjaan
yang melelahkan seperti membangun bangunan dan berjalan di malam hari saat
safar. Ini menunjukkan bahwa dibolehkannya jenis nasyid yang demikian hanya
dalam keadaan-keadaan yang khusus, bukan untuk dijadikan sebagai satu bidang/
bagian dari tarbiyah dan dakwah sebagaimana kenyataan yang ada sekarang."
(Al-Khuthab Al-Minbariyyah, 3/184-185, sebagaimana dinukil dari catatan kaki
Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘an As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah, hal. 21)
Demikian perkataan ulama umat ini, ulama Ahlus
Sunnah wal Jamaah. Dengan keterangan ilmiah dan amanah agama, mereka memaparkan
keberadaan nasyid yang katanya Islami tersebut. Sehingga seandainya ada yang
membolehkan, itu pun dengan ketentuan-ketentuan yang harus dijalankan dan
dipenuhi. Kita tidak mengambil pandangan ahlul hawa wal bida' karena pandangan
mereka tidak teranggap dan tidak punya nilai di mata umat ini. Selain itu,
pandangan mereka pasti menyelisihi ulama umat ini dengan membolehkannya.
Sementara pembolehan ini didukung dan bersumber dari hawa nafsu mereka, sama
sekali tidak ilmiah, sebagaimana akan disebutkan sebagiannya nanti insya Allah.
Adapun mengenai tamtsil (sandiwara, drama,
fragmen, lawak, pantomim, film ataupun dunia teater yang sejenisnya) maka
pengharamannya adalah dengan nash dan kesepakatan ulama umat ini. Dan tidak ada
dalil bagi mereka yang membolehkannya dengan dalih mashalih al-mursalah ataupun
mashlahat da'wah, sebagaimana penyeru hawa nafsu dan bid'ah pada zaman ini
sering mendengungkan kalimat yang haq ini, tetapi yang diinginkan adalah
pembenaran terhadap kebatilan. Sehingga pantas kalau kita katakan pada mereka:
"Muutuu bi kaidikum" (Matilah kalian dengan tipu daya kalian).
Di antara nash yang mencela dan melarang tamtsil
(meniru-niru dan memerankan seseorang) adalah hadits ‘Aisyah, bahwasanya Nabi Shallallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda:
مَا
أُحِبُّ أَنِّي حَكَيْتُ إِنْسَانًا، وَأَنَّ لِي كَذَا وَكَذَا
"Aku tidak suka menirukan seseorang,
walaupun aku diberikan ini dan itu (dari dunia ini)." (HR. At-Tirmidzi no.
2503, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dalam kitab Al-Mu'jamul Mufashshal (2/1149-1150)
dan At-Tamtsil (hal. 18 dan 27) dinyatakan bahwasanya tamtsil itu asalnya dari
Yunani dan merupakan syiar peribadatan kepada berhala. Dan hal ini tidak ada
asalnya dalam Islam, tidak diketahui di kalangan kaum muslimin dan tidak pula
di kalangan orang-orang Arab sebelum Islam. Bahkan tamtsil ini muncul dengan
tiba-tiba dan berkembang pada abad ke-14 H yang menyelinap dari gereja-gereja
Nasrani, kemudian diadaptasi dalam panggung-panggung teater dan hiburan,
sehingga pada waktu itu barulah kaum muslimin mengenalnya.
Asy-Syaikh yang mulia Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri
t (seorang ulama besar terkemuka, mujahid dan dari ulama ahli hadits, yang
telah mendapatkan Jaizah (penghargaan) Malik Faisal ‘Alamiyah dari kerajaan
Saudi Arabia karena pelayanan dan pembelaan beliau terhadap agama ini).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar