Direktur
Pusat Media Informasi Hizbut Tahrir
Segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, dengan sebenar-benarnya pujian atas
kebaikan dan berkah-Nya, yang tak terhingga jumlahnya, memenuhi langit dan
bumi, serta semua yang ada. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada
Rasul yang diutus dengan membawa rahmat untuk seluruh alam, yaitu Muhammad bin
Abdillah, keluarganya, para sahabatnya, serta siapa saja yang senantiasa setia
dan mengikutinya denga cara yang baik hingga hari kiamat. Waba’du.
Dalam
situs “Al Islam Sual wa Jawab” (islamqa.info), yang diasuh oleh
Syaikh Muhammad Shalih al-Munajid terdapat sebuah pertanyaan: “Apakah Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab memberontak terhadap Khilafah Utsmaniyah, dan menjadi
penyebab kejatuhannya?”
Beberapa
orang memfitnah Muhammad ibn Abdul Wahab—semoga Allah merahmatinya. Mereka
menuduhnya telah memerangi Khilafah Islam Utsmaniyah, serta memerangi
Khalifah kaum Muslim. Oleh karena itu, ia menjadi musuh kaum Muslim. Dan
perdebatan mereka seputar masalah ini. Apakah hal itu benar? Bagaimana mungkin
tokoh (Islam) memerangi seorang amir (pemimpin) kaum Muslim, padahal ia seorang
Khalifah yang mendirikan shalat, membayar zakat, dan sebagainya? Mereka juga
mengatakan bahwa ia berkonspirasi dengan tentara Inggris untuk melawan kaum
Muslim. Tolong beri saya jawaban yang rinci tentang masalah bersejarah ini, dan
jelaskan kepada saya kebenarannya, hingga tampak siapa yang benar?
Kami
akan memaparkan jawabab paragraf demi paragraf, kemudian kami akan mengulasnya
dan mengomentarinya dengan ilmu yang Allah karuniakan kepada kami, dengan tetap
memohon kepada Allah SWT agar kebenaran mengalir di lisan kami, serta
memperlihatkan kepada kami bahwa yang benar itu benar, dan memberi kami
kekuatan untuk mengikutinya; juga memperlihatkan kepada kami bahwa yang batil
itu batil, dan memberi kami kekuatan untuk meninggalkannya. Allâhumma Amîn.
Paragraf
Pertama Dari Jawaban Situs Islam Sual wa Jawab:
Syaikh
Abdul Aziz Abdul Latif mengatakan: “Beberapa musuh dakwah Salafi mengklaim
bahwa Syaikh al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab telah memberontak terhadap Negara
Khilafah Utsmaniyah. Sehingga dengan itu ia telah memisahkan diri dari jamaah,
dan mematahkan tongkat (ikatan untuk) mendengar dan taat.” (Da’âwal
Munâwi’în li Da’wah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, hlm. 233).
Dia
mengatakan Abdul Qadim Zallum mengklaim bahwa munculnya dakwah Wahabi telah
menjadi penyebab jatuhnya negara Khilafah. Zallum berkata: “Wahabi telah
menemukan sebuah entitas di dalam negara Islam yang dipimpin oleh Muhammad bin
Saud, dan kemudian putranya Abdul Aziz. Lalu Inggris membantunya dengan senjata
dan uang. Sehingga mereka bangkit atas dorongan madzhab untuk menguasai negeri-negeri
Islam yang berada di bawah kekuasaan Khilafah, yakni mereka mengangkat pedang
(senjata) melawan Khalifah, dan memerangi tentara Islam, yaitu tentara Amirul
Mukminin, dengan provokasi (hasutan) dari Inggris dan bantuannya.” (Kaifa
Hudimat al-Khilâfah, hlm. 10).
Sebelum
kami menjawab syubhat (ketidakjelasan) tentang pemberontakan Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab terhadap negara Khilafah, adalah tepat untuk mengingat
apa yang telah menjadi keyakinan asy-Syaikh al-Imam tentang wajibnya mendengar
dan taan kepada para pemimpin kaum Muslim, baik mereka adil atau zalim, selama
mereka tidak memerintahkan bermaksiat pada Allah, karena ketaatan itu hanya
untuk perkara yang makruf (baik) saja.
Asy-Syaikh
al-Imam dalam suratnya kepada warga al-Qashim berkata: “Saya berpendapat
wajibnya mendengar dan taan kepada para pemimpin kaum Muslim, baik mereka adil
atau zalim, selama mereka tidak memerintahkan bermaksiat pada Allah. Sehingga
siapa saja memimpin Khilafah, sementara masyarakat mendukung dan meridhainya, bahkan
sekalipun ia menguasai masyarakat dengan pedangnya hingga ia menjadi Khalifah,
maka menaatinya wajib, dan haram memberontaknya.” (Majmû’ah Muallafât
asy-Syaikh, 5/11).
Dia
juga mengatakan: Kaidah Dasar Ketiga: “Kesempurnaan berkelompok (bermasyarakat)
adalah mendengar dan taat kepada siapa saja yang memimpin kami, sekalipun ia
seorang budak Habasyi.” (Majmû’ah Muallafât asy-Syaikh, 1/394), melalui
(Da’âwal Munâwi’în, hlm. 233-234).
***
*** ***
Kami
akan membahas isu-isu berikut seperti yang terdapat dalam fatwa dengan sebuah
analisis, yaitu:
Pertama: Wajibanya mendengar dan taat kepada Khalifah.
Kedua: Haramnya memberontak terhadap Khalifah, dan analisis
pendapat asy-Syaikh ketika Khalifah melakukan kemaksiatan berdasarkan nash
hadis bahwa tidak boleh memberontak kecuali (Khalifah) melakukan perkara yang
jelas-jelas kufur.
Ketiga: Tidak adanya dalam fatwa itu pembahasan tentang masalah
wajibnya kesatuan negara Islam, dan haramnya membaiat imam (Khalifah) lain
dalam waktu yang sama.
Paragraph
ini berisi pendapat tentang wajibnya mendengar dan taat kepada pemimpin kaum
Muslim, baik mereka yang adil maupun yang zalim, selama mereka tidak
memerintahkan pada kemaksiatan. Tidak diragukan lagi bahwa paragraf ini
argumen yang justru menjatuhkan Syaikh Ibnu Abdul Wahab, bukan argument
yang menguatkannya. Sungguh, ia telah memfatwakan bahwa haram memberontak
terhadap Khalifah, sementara ia sendiri melakukan pemberontakan itu
terhadapnya. Dan akan saya jelaskan tentang pemberontakan yang ia lakukan hingga
Homs dan Aleppo, serta pemberontakannya terhadap Khalifah di Irak, Kuwait dan
lainnya, di antara wilayah-wilayah yang secara langsung tunduk pada Khalifah
melalui para walinya, sebab para Amirul Mukimin mengangkat para wali untuk
setiap wilayah. Dan hal lain yang kami baca dari sela-sela fatwa yang secara
khusus berbicara tentang tidak adanya ketaatan ketika diperintah melakukan
kemaksiatan, serta ketidakrinciannya terkait haramnya memberontak ketika
diperintah melakukan kemaksiatan, kecuali Khalifah melakukan kekufuran yang
jelas-jelas kufur.
Perkara
yang mewajibkan memberontak terhadap Khalifah bukan sekedar perintah
bermaksiat, karena apabila diperintah bermaksiat, maka tidak wajib menaatinya.
Rasulullah Saw bersabda:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الخَالِقِ
“Tidak
ada ketaatan pada makluk dalam bemaksiat kepada al-Khaliq (Allah).”
Hadis
ini disahihkan oleh al-Albanni. Namun tetap saja haram memberontak terhadap
Khalifah, kecuali ia terang-terangan melakukan kekufuran yang nyata, yang dapat
dibuktikan di hadapan Allah kelak.
Muslim
meriwayatkan dari Auf bin Malik:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ
وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ
أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ
وَيَلْعَنُونَكُمْ. قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ
فَقَالَ لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ
وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا
مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik
pemimpin kalian adalah mereka yang kalian mencintainya, dan mereka mencintai
kalian; mereka mendoakan kalian, dan kalian mendoakan mereka. Seburuk-buruk
pemimpin kalian adalah mereka yang kalian membencinya, dan mereka membenci
kalian; kalian melaknat mereka, dan mereka melaknat kalian.” Dikatakan: “Wahai
Rasulullah mengapa tidak kami perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau
bersabda: “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah
kalian. Apabila kalian melihat dari pemimpin sesuatu yang tidak kalian benci,
maka bencilah pada perbuatannya saja, dan jangan kalian melepaskan tangan dari
ketaatan.”
Secara
gamblang hadis di atas mengabarkan tentang adanya para pemimpin yang baik dan
yang buruk, serta jelas menunjukkan haramnya memerangi mereka dengan pedang
selama mereka masih menegakkan agama. Sebab menegakkan shalat itu merupakan
kiasan (metafora) tentang menegakkan agama, dan memerintah berdasarkan agama.
Bukhari
meriwayatkan dari Junadah bin Abi Umayyah yang berkata: “Kami menjenguk Ubadah
bin Shamit yang sedang sakit. Kami berkata—semoga Allah senantiasa memberi
kebaikan kepadamu—sampaikan pada kami hadis yang dengannya Allah memberi
manfaat padamu, yang telah kamu dengar dari Nabi Saw. Ia berkata:
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً
عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا
بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Nabi
Saw memanggil kami, lalu kami membaiatnya. Beliau bersabda terkait apa yang
beliau ambil dari kami, yaitu agar kami berbaiat untuk mendengar dan taat, baik
ketika kami senang dan benci, ketika kami dalam kesulitan dan lapang, serta
tidak mementingkan diri kami, juga kami tidak akan merebut urusan (kekuasaan)
dari yang berhak—Beliau menambahkan dengan sabdanya—kecuali kalian melihat
kekufuran yang nyata, dimana terkait kekufuran itu kalian punya bukti dari
Allah (dalil yang qath’iy).”
Penting
dikatakan bahwa fatwa di atas tidak bisa mengabaikan masalah lain yang
keterkaitannya sangat penting, yaitu wajibnya kesatuan kaum Muslim di bawah
satu orang Khalifah, dan haramnya di tengah-tengah umat ada dua orang Khalifah,
serta masalah wajibnya kaum Muslim dan institusinya bergabung di bawah
institusi negara Islam, tidak boleh (haram) memberontak terhadapnya, serta
haram setiap pemimpin suku mendirikan negara yang memisahkan diri dari negara
Islam dan memeranginya.
Ada
pendapat Syaikh, khususnya tentang kewajiban taat dan mendengarkan kepada siapa
saja yang masyarakat mendukung dan meridhainya, bahkan sekalipun ia menguasai
masyarakat dengan pedangnya hingga ia menjadi Khalifah. Pertanyaan terkait perkataan
“menguasai masyarakat dengan pedang dan masyarakat meridhainya”, seolah-olah
ini merupakan syarat wajibnya taat dan haramnya memberontak terhadap Khalifah.
Padahal ini bukan syarat akad Khilafah, serta tidak ada dalam hadis-hadis Nabi
al-Mustafa Saw. bahwa hubungan penguasa dan rakyat bukan hubungan “menguasai
dengan pedang dan mendominasinya” hingga mereka tunduk kepadanya, melainkan
melalui baiat yaitu akad saling ridha antara umat dan penguasa, yang dilandasi
keridhaan dan kebebasan memilih.
Terdapat
perkataan Umar bin Khattab ra, seperti yang terdapat dalam ath-Thabaqât
al-Kubra Ibnu Sa’ad. Abdullah bin Umar berkata, lalu mereka
bermusyawarah. Utsman memanggil aku sekali atau dua kali untuk melibatkan aku
dalam urusan pemerintahan. Aku berkata kepadanya hendaklah kalian berpikir,
apakah kalian akan mengangkat pemimpin sementara Amirul Mukminin masih hidup,
maka demi Allah hal itu benar-benar membangunkan Umar dari tempat tidurnya.
Umar berkata, jangan kalian tergesa-gesa, jika sebuah insiden menimpa saya,
maka hendaklah Shuhaib memimpin shalat kalian selama tiga hari, kemudian mereka
bersepakat atas urusan kalian, sebab “Barangsiapa yang memimpin kalian tanpa
musyawarah kaum Muslim, maka penggallah lehernya.”
Dalam
ath-Thabaqât al-Kubra Ibnu Sa’ad bahwa Umair bin Sa’ad ra.
diangkat oleh Umar bin Khattab sebagai wali di Homs. Umair berkata: “Ketahuilah
bahwa Islam itu laksana dinding yang kokoh dan pintu yang kuat. Dinding Islam
adalah keadilan, sementara pintunya adalah kebenaran. Islam akan senantiasa
kokoh selama kekuasaan masih kuat. Dan kuatnya kekuasaan bukan membunuh dengan
pedang, dan bukan pula memukul dengan cambuk, melainkan mengadili dengan
kebenaran, dan mengambil dengan adil.”
Adapun
khusus tentang wajibnya kesatuan kaum Muslim di bawah satu orang Khalifah.
Muslim meriwayatkan dalam Kitab al-Imârah, juga Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu
Majah dan Ahmad, lafad matan hadis ini menurut Muslim. Dari Abdur Rahman bin
Abdi Rabbi al-Ka’bah, yang mengatakan: Saya masuk masjid, tiba-tiba Abdullah bin
Amr bin al-Ash duduk di bawah Ka’bah. Sementara orang-orang berkumpul di
sekitarnya. Lalu, saya mendatanginya dan duduk bersama mereka. Abdullah bin Amr
bin al-Ash nerkata: Kami bersama Rasulullah Saw dalam sebuah perjalanan …
hingga Nabi Saw bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنْ النَّارِ وَيُدْخَلَ
الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
وَليَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ وَمَنْ بَايَعَ
إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ
اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الآخَرِ
“Siapa
saja yang ingin selamat dari neraka dan masuk surga, maka temuilah kematiannya,
sedang ia beriman kepada Allah dan hari Akhir, karena itu hendaklah ia datang
pada manusia, dimana ia ingin menemui kematiannya. Dan barangsia yang berbaiat
pada seorang Imam, lalu ia memberikan uluran tangannya dan buah hatinya, maka
taatilah ia selagi mampu. Jika ada orang lain yang merebutnya, maka penggallah
leher orang itu.”
Muslim
meriwayatkan dari Arfajah yang berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ
يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ
“Siapa
saja yang datang kepada kalian, sementara semua urusan kalian ada di tangan
satu orang (Khalifah). Dan ia datang untuk memecah tongkat kalian, serta
mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.”
Muslim
meriwayatkan dalam Kitab al-Imârah meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri
yang berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخَرَ مِنْهُمَا
“Jika
dibaiat dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.”
Seruan
(khithâb) di sini adalah untuk semua kaum Muslim, bahwa tidak boleh ada
pada mereka dua orang Khalifah. Hadis ini adalah nash (dalil) haramnya ada
banyak Khalifah, dan wajibnya hanya ada seorang Khalifah bagi seluruh kaum
Muslim.
Dan
realitas orang yang merebut kepemimpinan Khalifah pada suatu wilayah di bumi
ini, maka ia menyatakan bahwa dirinya tidak tunduk pada kekuasaan Khalifah, dan
ia mendirikan pemerintahan di wilayah tersebut. Bahkan realitasnya ia
mengangkat dirinya sebagai imam bagi kaum Muslim, dan itu adalah realitas
Khalifah, sekalipun ia tidak menyebut dirinya Khalifah. Pengangkatan para amil
dan wali untuk suatu wilayah adalah tugas Khalifah dan tanggung jawabnya, yang asy-Syâri’
bebankan kepadanya. Rasulullah Saw telah mengangkat para wali dan amil. Dan
itulah yang juga dilakukan oleh para Khulafa’ ar-Rasyidin al-Mahdiyyin sesudah
Rasulullah. Sehingga tidak sah (haram) suatu kabilah memberontak terhadap
negara Islam, dan mengangkat dirinya sebagai walinya. Kemudian ia merebut
kekuasaan Khalifah. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa ia merupakan aktivitas
orang yang melihat dirinya sebagai Khalifah kaum Muslim.
Lihatlah
untuk memperkuat hal ini apa yang terdapat dalam dokumen Arab Saudi:
Hubungan
Negara Saudi dengan Syam :
Sumber-sumber
Najd mengatakan bahwa Imam Abdul Aziz bin Muhammad memerintahkan beberapa
pasukannya, pada tahun 1208 H/1793 M, untuk pergi ke Dumatul Jandal, di
pinggiran Syam, dan memerangi warganya. Hal itu didasarkan informasi bahwa
pasukan wali Utsmani ada di Syam. Pada tahun 1212 H/1797 M, Hujailan bin Hamad,
pemimpin al-Qashim memimpin tentara rakyat al-Qashim, kemudian menyerang Bawadi
asy-Syararat, sehingga banyak tokoh-tokohnya yang terbunuh, serta merampas
harta dan barang-barang dalam jumlah besar.
Serangan
tersebut untuk memperkuat penyebaran prinsip-prinsip dakwah reformasi di
wilayah itu, dan mengambil zakat dari penduduknya. Bahkan serangan itu sampai
di Bawadi asy-Syam, pada tahun 1218 M. Dari semua itu dipahami bahwa penduduk
Bawadi asy-Syam telah menjadikan loyalitas politik dan agamanya pada Dir’iyah
(wilayah kerajaan Arab Saudi), tidak lagi pada wali Syam.
Sampai
di sini kutipan dari Mausû’ah Muqâtil min ash-Shahra’.
Seperti
yang Anda lihat, bahwa zakat yang seharusnya diberikan pada wali Syam yang
mewakili Khalifah, kemudian diambil untuk Dir’iyah. Apakah tindakan ini bukan
tindakan orang yang menempatkan dirinya sebagai Khalifah bagi kaum Muslim?
Dengan dalil ini jelas bahwa mereka merampas dari Khalifah aktivitas dan
tanggung jawabnya, merampas wilayah darinya, dan kemudian menundukkannya untuk
kekuasaan mereka, tidak lagi pada kekuasaan Khalifah?
Dari
Arfajah dari Nabi Saw bersabda:
إِنَّهُ سَتَكُونُ هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ
يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ الأُمَّةِ وَهْىَ جَمِيعٌ فَاضْرِبُوهُ بِالسَّيْفِ
كَائِنًا مَنْ كَانَ
“Sungguh
akan ada banyak fitnah dan bid’ah. Sehingga siapasaja yang ingin memecah-belah
urusan umat ini, sedang umat ini sedang bersatu, maka penggallah dia dengan
pedang, siapapun dia.” (HR. Muslim).
Imam
Nawawi mengatakan dalam Syarah Shahih Muslim: “Jika seorang Khalifah
dibaiat sesudah ada Khalifah, maka baiat Khalifah yang pertama yang sah, dan
wajib memenuhi baiat yang pertama. Sementara baiat yang kedua batal, sehingga
haram memenuhinya, serta haram ia menuntutnya, sama saja apakah mereka yang
melakukan baiat kedua tahu dengan adanya baiat yang bertama atau tidak, sama
saja apakah itu terjadi di dua negeri atau satu negeri, atau salah satunya
berada di negeri imam yang terpisah, dan yang satunya di negeri lainnya. Para
ulama telah bersepakat bahwa tidak boleh ada akad baiat untuk dua orang
Khalifah di waktu yang bersamaan, baik negara Islam luas atau tidak.”
Renungkan
perkataan Imam Nawawi: “sama saja apakah itu terjadi di dua negeri atau satu
negeri”, artinya sekalipun kita menerima sebagai hal yang kontroversi,
seperti kita menemukan di saat itu wilayah yang tidak tunduk secara langsung
terhadap negara Khilafah, maka membaiat Khalifah di wilayah itu adalah haram.
Dan renungkan juga bahwa “ulama telah bersepakat dalam hal ini”, namun
demikian ada orang yang berusaha membuat pembenaran untuk pemberontakan
kelompok Wahabi terhadap Khilafah.
Adapun
secara khusus terkait wajibnya kaum Muslim tergabung di bawah perintah Amirul
Mukminin, maka Imam Muslim meriwayatkan dalam Kitâb al-Jihâd was Siyar,
juga Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi, sedang lafad matan
menurut Imam Muslim: Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya yang berkata,
apabila Rasulullah Saw mengangkat seorang amir militer atau pasukan khusus
(sariyah), maka beliau berwasiat kepada pemimpinnya secara khusus agar bertakwa
kepada Allah, dan berbuat baik kepada kaum Muslim yang bersamanya. Kemudian
beliau bersabda: “Berperanglah atas nama Allah, di jalan Allah; perangilan
orang yang kafir pada Allah; berperanglah kalian, jangan berlebih-lebihan,
jangan berkhianat, jangan melampiaskan dendam, dan jangan membunuh anak-anak.
Apabila kamu bertemu dengan musuhmu di antara kaum Musyrikin, maka serulah
mereka pada tiga hal. Lalu yang manapun dari ketiga hal itu yang mereka penuhi,
maka terima dan hentikan peperangan darinya. Kemudian serulah mereka pada
Islam, jika mereka memenuhi seruanmu, maka terima dan hentikan peperangan
darinya. Lalu, serulah mereka untuk berpindah dari negara (dâr) mereka ke
negara (dâr) kaum Muhajirin, dan sampaikan pada mereka, jika mereka melakukan
itu, maka mereka memiliki hak seperti hak kaum Muhajirin, dan mereka memiliki
kewajiban seperti kewajiban kaum Muhajirin. Apabila mereka menolak untuk
berpindah darinya, maka sampaikan pada mereka bahwa status mereka seperti kaum
Muslim yang memilih tetap berasa di padang sahara, dimana atas mereka berlaku
hukum Allah yang berlaku atas kaum Mukmin, mereka tidak berhak mendapatkan
ghanimah dan fai’ sedikitpun kecuali mereka ikut berjihad bersama barisan kaum
Muslim, jika mereka menolak, maka mintalah jizyah dari mereka, jika mereka
memenuhinya, maka terimalah dan hentikan peperangan dengan mereka, jika mereka
masih juga menolak, maka mintalah tolong pada Allah, dan perangi mereka.
Apabila kamu mengepung warga Hishn, lalu kamu ingin membuat janji Allah dan
nabi-Nya untuk mereka, maka kamu jangan membuat janji Allah dan nabi-Nya untuk
mereka, namun buatlah untuk mereka janji kamu dan janji sahabatmu. Sebab jika
kamu membatalkan janji kamu dan janji sahabatmu, maka itu lebih ringan daripada
kamu membatalkan janji Allah dan nabi-Nya. Dan jika kamu ingin membuat
persetujuan hukum Allah atas mereka, maka kamu jangan membuat persetujuan hukum
Allah atas mereka, namun buatlah persetujuan berdasarkan hukum (ijtihad)mu,
karena kamu tidak tahu apakah kamu benar pada hukum Allah dalam perkara mereka
atau tidak.”
Sementara
dalam riwayat Abu Dawud dan Ahmad: “Kemudian serulah mereka untuk berpindah
dari negara (dâr) mereka ke negara (dâr) kaum Muhajirin, dan sampaikan pada
mereka, jika mereka melakukan itu, maka mereka memiliki hak seperti hak kaum
Muhajirin, dan mereka memiliki kewajiban seperti kewajiban kaum Muhajirin.
Apabila mereka menolak untuk berpindah dan memilih tetap di negara (dâr)
mereka, maka sampaikan pada mereka bahwa status mereka seperti kaum Muslim yang
memilih tetap berada di padang sahara.”
Mengingat
Rasulullah Saw memerintahkan agar memerangi setiap negeri yang tidak tunduk
pada kekuasaan kaum Muslim, dan sungguh-sungguh dalam memerangi mereka, sama
saja apakah penduduknya Muslim atau non-Muslim. Dalilnya adalah larangan
Rasulullah dari memerangi warganya jika warganya adalah Muslim. Imam Bukhari
meriwayatkan dalam Kitâb al-Adzân: Dari Humaid dari Anas bin Malik bahwa
“Nabi Saw jika memimpin kami memerangi suatu kaum, maka beliau tidak
memerangi hingga masuk waktu shubuh, dan beliau memperhatikan, jika beliau
mendengar adzan, maka beliau tidak memeranginya, sebaliknya jika beliau tidak
mendengar adzan, maka beliau memeranginya.”
Imam
Ahmad meriwayatkan dalam Musnad al-Makiyyin: Dari seseorang dari
Muzainah yang bernama Ibnu Isham. Ia adalah sahabat Nabi saw. Ia berkata: “Apabila
Saw mengirim pasukan khusus (sariyah), beliau bersabda jika kalian melihat
masjid atau mendengar adzan, maka janganlah kalian membunuh siapa pun.”
Adzan
dan masjid termasuk di antara simbol-simbol Islam. Sehingga semua ini
menunjukkan bahwa keberadaan negeri yang warganya kaum Muslim tidak mencegah
untuk menyerangnya dan memeranginya dengan sunguh-sungguh. Ini artinya bahwa
negeri itu dianggap sebagai negara (dâr) yang dalam situasi perang,
sehingga diperangi seperti negara (dâr) manapun yang dalam situasi
perang, sampai tunduk pada kekuasaan Islam, dan dalam keamanan kaum Muslim,
serta bergabung ke dalam tubuh negara Islam.
Jadi,
kesimpulannya bahwa masalah ini bukan sekedar masalah pemberontakan Muhammad
bin Abdul Wahab terhadap negara, tetapi ia juga tidak mendorong untuk bergabung
ke dalam tubuh negara Islam, bahkan ia merebut kekuasaan Khalifah di bumi Allah
yang seharusnya tunduk pada kekuasaan satu orang Khalifah saja, serta terus
berusaha melakukan disintegrasi terhadap persatuan dan kesatuan wilayah kaum
Muslim dengan mengangkat pemimpin lain, yaitu Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud,
dan kemudian putranya Saud, serta tidak tunduk pada kekuasaan Khalifah. Ia
merebut kekuasaan Khalifah di sebuah wilayah di dunia Islam, bahkan ia terus
memberontak terhadap Khalifah hingga mencapai Homs dan Aleppo. Ia tidak puas
hanya dengan membaiat pemimpin lain yang menguasai sebuah wilayah dari
wilayah-wilayah dunia Islam, bahkan ia melakukan lebih dari itu, yaitu
memberontak terhadap Khaliaf di dalam rumahnya. Dan hal itu akan kami jelaskan
setelah ini, insya Allah.
Selanjutnya,
bahwa posisinya menurut syara’ di hadapan negara Utsmani adalah posisi wilayah
yang tidak tunduk pada kekuasaan Khalifah, sehingga menurut syara’ pula menjadi
hak negara Utsmani untuk memeranginya dan menundukkannya pada kekuasaannya,
berdasarkan hadis Sulaiman bin Buraidah ra, seperti tersebut di atas. Jika
Abdul Azin dan setelah itu putranya Saud tidak tunduk terhadap Khalifah, bahkan
keduanya terus merebut kekuasaan Khalifah di sebagian wilayah negara kaum
Muslim, maka perbuatannya masuk dalam cakupan hadis Rasulullah Saw yang
diriwayatkan Muslim dalam Kitab al-Imârah dari Arfajah yang berkata: Aku
mendengar Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ
يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ
“Siapa
saja yang datang kepada kalian, sementara semua urusan kalian ada di tangan
satu orang (Khalifah). Dan ia datang untuk memecah tongkat kalian, serta
mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.”
Dan
juga sabda Rasulullah Saw.:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
“Jika
dibaiat dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.”
Abu
Bakar ash-Shiddiq ra berkata sebagaimana yang tercantum dalam Sunan Baihaqi:
“Tidak halal (haram) kaum Muslim memiliki dua orang pemimpin, sebab
bagaimanapun baiknya keduanya, maka urusan dan keputusan mereka akan berbeda,
jamaahnya akan cerai-berai, dan diantara mereka akan saling berebut, sehingga
dalam kondisi seperti itu sunnah akan ditinggalkan, dan bid’ah akan bermunculan,
serta akan terjadi fitnah yang lebih besar, akhirnya tidak seorang pun yang
bisa memperbaikinya.”
Hal
ini harus selalu diingat bahwa nash-nash haramnya akad Khilafah untuk dua orang
adalah bersifat mutlak, meliputi semua keadaan, sama saja apakah wilayah-wilayah
dunia Islam saling berjauhan, sehingga sulit akses kekuasaan pada yang satu dan
yang lain. Nash-nash yang mutlak itu menunjukkan pada hukum haram, dan larangan
menepati baiat yang kedua, dan memerintahkan untuk membuhnya siapapun dia!
Paragraf
Kedua dari Jawaban Situs Islam Sual wa Jawab:
Syaikh
Abdul Aziz Abdul Latif berkata: Setelah laporan singkat ini, yang telah
menunjukkan posisi Syaikh terkait wajibnya mendengar dan taat kepada para
pemimpin kaum Muslim, yang baik dan yang buruk, selama mereka tidak memerintah
bermaksiat pada Allah. Kami tunjukkan masalah yang jawabannya penting terkait syubhat
(ketidakjelasan) tersebut, melalui sebuah pertanyaan penting yaitu: “Apakah
‘Najed’ wilayah dan tempat berdirinya dakwah ini ada di bawah kendali negara
Khilafah Utsmani?”
Dr
Shaleh al-Abud menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan: “Secara umum ‘Najed’
tidak pernah berada di bawah pengaruh negara Utsmani, sekalipun kekuasaannya
terbentang luas, para wali negara Utsmani tidak datang ke sana, dan tidak
ditemukan adanya perlindungan Turki di rumah-rumah Najed saat sebelum munculnya
dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah. Sehingga semua ini
menunjukkan fakta sejarah stabilitas pembagian administrasi negara Utsmani,
diantarnya melalui disertasi tentang Turki berjudul: “Qawanin Alu Utsman Mudhamin
Daftar ad-Diwan”, artinya “Undang-Undang Kelurga Utsman Yang Tersimpan
Dalam Arsip Kantor”, yang ditulis oleh Yamin Ali Effendi, ia adalah
sekretaris untuk arsip Khaqani, tahun 1018 Hijriah, bertepatan dengan tahun
1609 Masehi. Melalui disertasi ini jelas bahwa sejak abad sebelas Hijriyah,
negara keluarga Utsman terbagi menjadi 32 provinsi, di antaranya 14 provinsi
Arab, dan negeri Najed tidak termasuk dari 14 provinsi itu, kecuali al-Ihsa’,
jika kita menganggapnya bagian dari Najed.” (Aqidah asy-Syaikh Muhammd
bin Abdul Wahab wa Atsaruha fi al-Alam al-Islami, 1/27, tidak
dipublikasikan).
Dr
Abdullah Utsaimin mengatakan: “Apapun alasannya ‘Najed’ tidak pernah berada di
bawah pengaruh langsung Utsmaniyin sebelum lahirnya dakwah Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab. Juga tidak pernah ada pengaruh kuat yang memaksa kehadirannya pada
jalannya peristiwa dalam bentuk apapun. Sehingga tidak ada pengaruh Bani Jabr
atau Bani Khalid di beberapa aspeknya, serta tidak ada pengarus al-Asyraf dalam
beberapa aspeknya yang lain sebagai jenis stabilitas politik terbaru. Sedangkan
perang di antara negeri-negeri Najed masih berlangsung, dan konflik antara
suku-suku yang berbeda berlangsung tajam diwarnai kekerasan.” (Muhammad bin
Abdul Wahab Hayatuhu wa Fiqruhu, hlm. 11, melalui Da’awa al-Munawi’in,
hlm. 234-235).
Sebagai
pelengkap bahasan ini, kami kemukakan jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baz atas kontradiksi ini. Bin Baz berkata: “Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
tidak memberontak terhadap negara Khilafah Utsmani, sejauh apa yang saya
ketahui dan saya yakini. Di Najed tidak ada kepemimpinan dan imarah bagi orang
Turki, namun Najed adalah kepemimpinan kecil, dan desa-desa yang terebar.
Setiap kota atau desa—sekalipun kecil—memiliki pemimpin yang independen. Itulah
kepemimpinan yang diantara mereka terjadi pertumpahan dan peperangan, serta
perselisihan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab tidak memberontak terhadap negara
Khilafah, namun ia melawan kondisi yang rusak di negerinya, kemudian ia
berjihad dengan sebenar-benarnya jihad, ia sabar dan tekun hingga cahaya
dakwahnya ini menyebar ke negeri-negeri lain.” (Nadwah Musajjalah ala
al-Asyrithah, rekaman seminar”, melalui Da’awa al-Munawi’in,
hlm. 237).
Dr
Ajil an-Nasymi berkata: “….. Negara Khilafah berdiam diri saja, tidak
menawarkan inisiatif sebagai reaksi kemarahan atau pertentangan apapun
bentuknya. Padahal ada empat sulthan keluarga Utsman yang memimpin selama dalam
kehidupan Syaikh.” (Majallah al-mujtama’, edisi 510).
***
*** ***
Terkait
jawabab pada paragraf kedua ini, kami mengomentarinya sebagai berikut:
Sekali
lagi, kami dapati bahwa jawabannya mengabaikan dalil-dalil syara’ yang
seharusnya dipahami oleh seorang mujtahid dan ulama, khususnya realitas
perbuatan sehubungan dengan negara Khilafah Islam. Juga kami dapati jawabannya
benar-benar mengabaikan pemberontakan kelompok Wahabi bersama keluarga Saud
terhadap Khalifah di dalam rumahnya, hingga serangan mereka mencapai Homs,
seperti yang akan dijelaskan setelah ini, Insya Allah.
Ketika
suku-suku Arab memberontak terhada negara Khilafah pada awal pemerintahan
Khalifah Rasyidin pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Mereka tidak tunduk pada
pemerintahannya, dan menolak untuk membayar zakat, padahal kapasitasnya sebagai
Khalifah Rasulullah Saw, maka Abu Bakar memerangi mereka, dan mengirim tentara
pada mereka hingga mereka tunduk pada kekuasaannya. Sehingga tidak seorang pun
dari mereka yang mengakui (membela) pemberontakannya terhadap kekuasaan negara
Islam, dan membentuk negara dalam negara!
Apakah
kami katakan bahwa mereka yang menjawab masalah ini, yang diwakili oleh Dr
Shaleh al-Abud, Syaikh Utsaimin dan lain-lainnya, mengatakan bahwa “hukum
syara’ bagi orang yang keberadaan dirinya jauh dari pembagian administrasi
negara Islam adalah memerdekakan dirinya dan mendirikan kekuasaan lain, serta
membenarkan dirinya untuk memperluas kekuasaan ini dengan memasuki
wilayah-wilayah yang tunduk pada negara Khilafah seperti Syam, Irak, Makkah,
Madinah dan lainnya untuk dijadikan wilayah kekuasaannya, lalu ia mendirikan
negara tanpa negara? Tidakkah semua ini dinamakan merebut kekuasaan dari mereka
yang berhak?
Kemudian
dimunculkan polemik bahwa Najed tidak mendapatkan sejumlah perlindungan negara
Khilafah. Apakah ketundukan pada kekuasaan Khalifah hanya diketahui dengan
adanya sejumlah perlindungan, atau adanya pengaruh yang memaksakan pengendalian
berbagai kejadian besar dan kecil. Sebab ketika itu negara Islam sedang
mengalami kelemahan. Sedang kelemahan bukan pembenaran syar’iy untuk
melakukan pemberontakan. Akan tetapi, kewajiban yang benar dalam kondisi
seperti itu adalah berusaha memperkuat pilar-pilar negara, dan mendidik
masyarakat di daerah-daerah dan desa-desa terpencil akan wajibnya tunduk pada
negara yang ada. Jika tidak, apakah kita membenarkan Khawarij Shufariyah,
misalnya, yang memberontak terhadap negara Khilafah Umayyah di Maroko karena
lemahnya komunikasi suku-suku di sana dengan Syam, dan apakah kita membenarkan
memberontaknya setiap negeri kecil, yang kemudian mendirikan pemerintahan independen,
sehingga mengakibatkan umat Islam tercerai-berai dan tidak lagi memiliki
kekuatan?
Juga
bukan hal yang begitu penting bahwa kekuasaan Khalifah dan pengawasannya
meliputi daerah-daerah terpencil secara langsung untuk membenarkan bahwa daerah
itu ada di bawah kekuasaan Khalifah, namun hal itu cukup dengan adanya
komunikasi kekuasaan meski melalui jalan yang tidak langsung, seperti melalui
para wali dan amir yang mereka itu diangangkat oleh Khalifah untuk memimpin
daerah-daerah itu, serta memberi mereka hak untuk mengatur pengelolaan semua
urusan di daerah mereka, sesuai dengan sistem yang dijalankan negara. Umar bin
Khattab ra menolak permintaan para wali dan amir untuk mengembalikan padanya
setiap persoalan besar dan kecil. Umar mengatakan pada mereka bahwa orang yang
ada di lapangan (asy-syâhid) melihat apa yang tidak dilihatnya oleh
orang yang tidak berada di lapangan (al-ghâib).
Faktanya,
bahwa kekuasaan negara meliputi setiap daerah di sekitar Najed, namun tidak
secara langsung sampai ke suku-suku di daerah-daerah terpencil. Kekuasaan itu
telah sampai ke daerah-daerah perkotaan yang dekat dengannya. Sehingga hukum
asalnya bahwa warga di desa-desa terpencil itu wajib merujuk pada amir terdekat
yang ditugasi oleh Khalifah untuk mengurusi urusan mereka, terkait
perkara-perkara yang mereka diberi kewenangan untuk mengurusinya, artinya
mereka wajib bergabung dengan negara (dâr) muhajirin, sebagaimana
perintahah Nabi Saw dalam hadis dari Sulaiman bin Buraidah yang disebutkan di
atas.
Namun
keyataannya bahwa keluarga Saud dan kelompok Wahabi di belakangnya telah
memberontak juga di daerah-daerah yang sangat dekat dan tunduk kepada negara
Khilafah. Berikut rincian terkait hal itu, seperti yang terdapat dalam kitab Kaifa
Hudimat al-Kilafah, karya al-Allamah asy-Syaikh Abdul Qadim Zallum rahimahullâh
rahmatan wâsiatan: “Kelompok Wahabi benar-benar telah menemukan sebuah
entitas dalam negara Islam yang dipimpin oleh Muhammad bin Saud, kemudian
putranya Abdul Aziz. Lalu Inggris membantu mereka dengan senjata dan uang.
Selanjutnya mereka bangkit atas dasar madzhab untuk menguasai negeri-negeri
yang tunduk pada kekuasaan Khilafah, artinya mereka mengangkat senjata melawan
Khalifah, dan mereka memerangi tentara Islam, tentara Amirul Mukminin atas
provokasi dari Inggris dan bantuannya terhadap mereka. Semua itu dilakukan demi
merebut sebuah negeri dari Khalifah dan kemudian menerapkan madzhabnya, serta
menghapus madzhab-madzhab Islam yang lain di luar madzhabnya dengan cara
kekerasan. Mereka menyerang Kuwait pada 1788, dan mendudukinya, kemudian mereka
terus bergerak ke utara sampai mereka mengepun Baghdad. Mereka ingin menguasai
Karbala, serta makam Hussein ra untuk dihancurkannya dan melarang orang
mengunjunginya. Pada bulan April, tahun 1803, mereka melancarkan serangan
terhadap Makkah dan mendudukinya. Sementara pada musim semi, tahun 1804,
Madinah jatuh di tangan mereka. Lalu, mereka merobohkan kubah besar yang
menaungi makam Rasulullah, dan menyita semua barang berharga. Setelah mereka
sukses menguasai seluruh Hijaz, mereka bergerak menuju Syam, dan mendekati
Homs. Pada tahun 1810 mereka menyerang Damaskus dan juga menyerang Najaf.
Damaskus pun membela dirinya dengan pertahanan yang kuat. Namun, kelompok
Wahabi, bersamaan dengan mengepung Damaskus, mereka bergerak ke arah utara, dan
meluaskan kekuasaannya di sebagian besar wilayah Suriah, hingga Aleppo.”
Apakah
Damaskus, Baghdad, Aleppo, dan daerah-daerah ainnya tidak dikatakan daerah yang
tunduk pada kekuasaan negara Khilafah, dan apakah tindakan seperti itu tidak
disebut memberontak terhadap negara khilafah, merobohkannya, merusak
pilar-pilarnya, dan menghancurkan bangunannya?
Pertanyaan
yang muncul sekarang adalah apa hukum syara’ terhadap orang yang melakukan
kejahatan seperti ini?
Rasulullah
Saw bersabda sebgaimana yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya
di Kitab al-Imârah dari Arfajah yang berkata: Aku mendengar Rasulullah
Saw bersabda:
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ
يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ
“Siapa
saja yang datang kepada kalian, sementara semua urusan kalian ada di tangan
satu orang (Khalifah). Dan ia datang untuk memecah tongkat kalian, serta
mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.”
Sehingga
tidak ada berkah Allah terhadap upaya dan aktivitas yang dilakukan untuk
memecah tongkat (kekuasaan) kaum Muslim, mencerai-beraikan jamaahnya, dan
mencabut tangannya dari taat pada Khalifahnya yang dibaiat untuk didengar dan
ditaatinya.
Jadi,
mengambarkan persoalan kelompok Wahabi dan para Saudis bahwa mereka mendirikan
negara yang sama sekali tidak ada konflik dengan Khilafah, dan bahwa mereka
mendirikannya di wilayah yang sama sekali tidak tunduk pada negara Khilafah,
adalah bentuk pendistorsian kebenaran dan pemutar balikan fakta, serta menutup
mata dari sejumlah serangan militer yang telah mereka lakukan untuk memecah
negara khilafah, memotong uratnya dan mencerai-beraikan jamaah kaum Muslim.
Paragraf
Ketiga dari Jawaban Situs Islam Sual wa Jawab:
Jika
hal di atas mencerminkan persepsi asy-Syaikh terhadap negara Khilafah, lalu
bagaimana citra dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab di hadapan negara
Khilafah?
Dr
Nasymi menjawab pertanyaan ini: “Citra gerakan asy-Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab di hadapan negara Khilafah adalah citra yang sangat terdistorsi dan
kacau, sehingga negara Khilafah tidak memperlihatkan kecuali sikap anti-gerakan
asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, baik melalui laporan yang dikirim oleh
para walinya di Hijaz, Baghdad atau lainnya …, atau memalui beberapa individu
yang tiba ke kota Konstantinopel dengan membawa berita.” (Majallah
al-mujtama’, edisi 504, melalui melalui Da’awa al-Munawi’in,
hlm. 238 – 239).
***
*** ***
Ini
juga merupakan bentuk pendistorsian fakta. Apakah negara Khilafah sebodoh itu
hingga tidak mengetahui serangan yang telah sampai ke Baghdad, Damaskus dan
Aleppo, sehingga negara Khilafah harus menunggu laporan dari para musafir yang
mendistorsi fakta?
Paragraph
Keempat dan Terakhir dari Jawaban Situs Islam Sual wa Jawab:
Adapun
klaim “Zallum” bahwa dakwah asy-Syaikh salah satu penyebab runtuhnya Khilafah,
dan bahwasannya Inggris membantu gerakan Wahabi meruntuhkannya. Maka dalam hal
ini, Mahmud Mahdi mengatakan: Orang Istanbul menjawab klaim kontroversi ini.
Seharusnya penulis ini mendukung pendapatnya dengan dalil dan bukti. Dahulu
kala seorang penyair pernah berkata: “Jika klaim tanpa didukung dengan
dalil, maka itu menjadi bukti kebodohannya”.
Padahal
sejarah membuktikan bahwa orang-orang Inggris justru sangat menentang dakwah
ini sejak berdirinya karena takut akan kebangkitan dunia Islam. (asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab Mir’ah asy-Syarq wa al-Gharb, hlm. 240).
Ia
mengatakan: Sungguh aneh dan ironis bahwa al-Ustadz ini menuduh gerakan asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul wahab sebagai salah satu sebab runtuhnya Khilafah Utsmani,
padahal semua tahu bahwa gerakan ini berdiri sekitar tahun 1811 M, sedang
Khilafah runtuh sekitar tahun 1922 M. (asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
Mir’ah asy-Syarq wa al-Gharb, hlm. 64).
Dan
bukti yang menunjukkan Inggris menentang gerakan Wahabi, bahwa mereka mengirim
Kapten Forster Sadler untuk mengucapkan selamat pada Ibrahim Pasha atas
keberhasilan melawan gerakan Wahabi—selama perang Ibrahim Pasha di Dar’iyyah—dan
hal ini juga memperkuat kecenderungan untuk bekerja sama dengan gerakan Inggris
guna mengurangi apa yang mereka sebut pembajakan Wahabisme di Teluk Arab.
Bahkan,
misi ini jelas menyatakan keinginan untuk membuat kesepakatan antara pemerintah
Inggris dan Ibrahim Pasha dengan tujuan menghancurkan gerakan Wahabi
sepenuhnya.
Syaikh
Muhammad bin Mandzuz an-Nu’mani mengatakan: “Inggris telah memanfaatkan situasi
yang berlawanan di India terkait Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sehingga
mereka menuduh orang-orang yang menentang dan melawan mereka, yang mereka
anggap sebagai ancaman bagi institusinya, dengan tuduhan Wahabisme dan didakwa
Wahabi. Bahkan Inggris juga menyebut para ulama Deoband—di India—dengan sebutan
Wahabi karena mereka secara terbuka menentang Inggris, dan mempersempit
geraknya.” (Di’âyât Muktsifah Dhiddu asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab,
hlm. 105 – 106)
Dari
kutipan beragam tersebut terbongkar kepalsuan dan kecacatan syubhat
(ketidakjelasan) selama ini berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang jelas melalui
sejumlah risalah asy-Syaikh dan al-Imam, serta karya-karya tulisnya. Juga
terbongkar kepalsuan syubhat (ketidakjelasan) berdasarkan fakta-fakta
sejarah yang ditulis oleh mereka yang jujur dan adil.” (Da’awa al-Munawi’in,
hlm. 239 – 240).
Akhirnya
kami menasihati semua orang yang selama ini mulutnya lancang terhadap
asy-Syaikh untuk segera menghentikannya, dan bertakwa kepada Allah dalam semua
urusannya, semoga Allah menerima taubatnya dan menunjukkannya ke jalan yang
lurus.
***
*** ***
Al-Imam
al-Allamah asy-Syaikh Abdul Qadim Zallum rahimahullâh rahmatan wâsiatan
mengatakan dalam kitabnya yang tiada duanya Kaifa Hudimat al-Kilafah:
“Semua tahu bahwa kampanye Wahhabi adalah pekerjaan Inggris, karena keluarga
Saud adalah antek Inggris. Mereka telah memanfaatkan madzhab Wahabi—yaitu
sebuah madzhab Islam, dan pendirinya adalah al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab di
antara seorang mujtahid—dimana mereka memanfaatkan madzhab ini dalam aktivitas
politik untuk memukul negara Islam, dan membenturkannya dengan madzhab-madzhab
lain, agar menimbulkan perang madzhab dalam negara Utsmani, tanpa disadari oleh
para pengikut madzhab ini. Akan tetapi hal itu disadari oleh pangeran Saud, dan
para Saudisme. Karena hubungan itu bukan antara Inggris dan pemilik madzhab,
Muhammad bin Abdul Wahab, namun antara Inggris dan Abdul Aziz bin Muhammad bin
Saud, kemudian antara Inggris dan putranya Saud.
Dia
mengatakan: Abdul Aziz, pada tahun 1788 mempersiapkan serangan militer
besar-besaran, kemudian menyerang Kuwait, menaklukannya dan menguasainya.
Sementara Inggris berusaha untuk mengambil Kuwait dari negara Utsmani, namun
Inggris tidak mampu melakukannya. Mengingat negara-negara lain, seperti Jerman,
Rusia dan Prancis menentangnya, sementara negara Khilafah melawannya. Sehingga
memisahkan Kuwait dari negara Utsmani, lalu maju ke utara untuk melindunginya,
guna menarik perhatian negara-negara besar seperti Rusia, Jerman dan Prancis,
serta untuk menarik perhatian negara Utsmani.
Sementara
ketundukan dan loyalitas keluarga Saud pada Inggris sudah dikenal oleh negara
Khilafah dan negara-negara lain, seperti Jerman, Prancis dan Rusia, serta semua
tahu bahwa mereka dikendalikan oleh Inggris. Sementara Inggris sendiri tidak
menyembunyikan keberpihakannya pada para Saudisme secara internasional,
termasuk banyak senjata dan peralatan yang telah sampai pada mereka melalui
India, serta uang yang dibutuhkannya untuk perang dan mobilisasi tentara, maka
semua itu adalah senjata dan uang dari Inggris. Oleh karena itu, negara-negara
Eropa, terutama Prancis menentang kampanye gerakan Wahabi, dan ini dilakukan
karena Prancis menganggapnya sebagai kampanye Inggris.
Negara
Khilafah telah berusaha untuk memukul gerakan Wahabi, namun tidak mampu
menghentikannya. Para walinya di Madinah, Baghdad dan Damaskus sudah tidak
berdaya untuk melawannya. Kemudian negara Khilafah meminta walinya di Mesir,
Muhammad Ali untuk menyingkirkan tentara mereka. Dalam hal ini, negara Khilafah
terlambat, sebab ia telah menjadi antek Prancis. Karena Prancis yang
membantunya dalam melakukan kudeta di Mesir dan berhasil merebut kekuasaan.
Lalu, memaksa Khilafah untuk mengakuinya. Berdasarkan persetujuan Prancis dan
provokasinya, ia memenuhi perintah Sultan pada tahun 1811. Ia pun mengirim
putranya, Tusun untuk memerangi mereka. Sehingga terjadi banyak pertempuran
antara mereka dan tentara Mesir. Pada tahun 1812, tentara Mesir bisa
menaklukkan Madinah. Kemudian pada Agustus 1816, ia mengirim putranya Ibrahim
dari Kairo, sehingga gerakan Wahabi benar-benar hancur, sehingga mereka mundur
ke ibukota mereka Dir’iyah, dan mereka berlingdung di dalamnya. Ibrahim
mengepung mereka pada bulan April, tahu 1818, sepanjang musim panas. Pada
tanggal 9 September 1818, gerakan Wahabi menyerah. Tentara Ibrahim benar-benar
telah meratakan Dir’iyah dengan tanah. Sehingga dikatakan: “Tentara Ibrahim
telah membajaknya dengan bajak sehingga tidak menyisakan apapun”. Dengan
demikian, berakhirlah semua upaya Inggris.
Terdapat
dalam Mausû’ah Muqâtil min ash-Shahra’: “Hubungan Negara Saudi dengan
Syam”.
Sumber-sumber
Najd mengatakan bahwa Imam Abdul Aziz bin Muhammad memerintahkan beberapa
pasukannya, pada tahun 1208 H/1793 M, untuk pergi ke Dumatul Jandal, di
pinggiran Syam, dan memerangi warganya. Hal itu didasarkan informasi bahwa
pasukan wali Utsmani ada di Syam. Pada tahun 1212 H/1797 M, Hujailan bin Hamad,
pemimpin al-Qashim memimpin tentara rakyat al-Qashim, kemudian menyerang Bawadi
asy-Syararat, sehingga banyak tokoh-tokohnya yang terbunuh, serta merampas
harta dan barang-barang dalam jumlah besar.
Serangan
tersebut untuk memperkuat penyebaran prinsip-prinsip dakwah reformasi di
wilayah itu, dan mengambil zakat dari penduduknya. Bahkan serangan itu sampai
di Bawadi asy-Syam, pada tahun 1218 M. Dari semua itu dipahami bahwa penduduk
Bawadi asy-Syam telah menjadikan loyalitas politik dan agamanya pada Dir’iyah
(wilayah kerajaan Arab Saudi), tidak lagi pada wali Syam.
Ketika
pengaruh Saudisme telah meliputi negeri Hijaz, maka mereka berada dalam posisi,
yang membuatnya berani berhadapan langsung dengan kekuasaan Utsmani. Dan
tantangan pertama negara Saudi adalah kepada wali Syam, pada tahun 1.221
H/1.806 M, ketika Imam Saud bin Abdul Aziz melarang Amir al-Haj al-Syami,
Abdullah Pasha al-Adhm masuk ke al-Haramain (Makkah dan Madinah) untuk berhaji,
karena ia datang membawa gendang dan seruling. Sehingga hampir terjadi
bentrokan antara tentara Saudi dan tentara Abdullah Pasha al-Adhm, yang tidak
dalam posisi militer (siap perang), yang memungkinkannya untuk bertemu dengan
para Saudisme. Akibatnya, Sultan Salim III, memecat Abdullah Pasha al-Adhm,
dari jabatannya karena ia tidak berbuat banyak untuk menghadapi pasukan Saudi,
dan malah ia pulang kembali tidak berhaji, atas perintah Imam Saud bin Abdul
Aziz. Dan menggantinya dengan Yusuf Pasha King. Sultan mengeluarkan perintah
tegas kepada Yusuf Pasha King, tentang keharusan memerangi para Saudisme. Namun
ia tidak melakukan tindakan positif apapun, justru ia sibuk mengumpulkan uang
untuk dirinya sendiri, dan mengulur-ulur misi negara. Dan untuk merespon
perintah Sultan, ia cukup dengan mengirimkan rencana perang, yang dianggapnya
mampu mewujudkan keinginan Sultan. Yusuf King telah mengusulkan untuk berbagi
dua wilayah dengannya, yaitu Mesir dan Baghdad, dalam penyusunan serangan,
untuk melakukan misi yang dipercayakan kepadanya.
Sementara
itu, Imam Saud bin Abdul Aziz melakukan serangan militer terhadap Syam. Dan ia
berhasil mencapai di balik gunung Hermon (jabal al-syaikh). Selanjutnya
pasukan Saudi bergerak di dataran Hauran, lalu menyerang benteng al-Mazirib dan
Basra.
Imam
Saud bin Abdul Aziz mengirim surat pada wali Syam, dan meminta penduduknya
untuk menaatinya, serta memeluk prinsip-prinsip dakwah Salafi (lihat: Lampiran
contoh-contoh surat Imam Saud bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud, dan
balasannya). Ia menarik pasukannya dari Syam dengan membahwa banyak harta
rampasan perang. Akibatnya, Sultan Mahmud II mengeluarkan perintah pemecatan
Yusuf Pasha King, karena ketidakmampuan. Dan diangkatlah Sulaiman Pasha sebagai
wali di Syam. Ia diminta untuk menghubungi wali Mesir, Muhammad Ali Pasha, guna
mengkoordinasikan upayanya melawan Dir’iyah.
Namun,
Sulaiman Pasha dan Muhammad Ali Pasha, tidak menemukan kata sepakat. Jadi,
negara masih melihat wali Mesir untuk mewujudkan tujuannya.”
Pertanyaan
yang ingin kita sampaikan kepada mereka yang menjawab di situs ini: “Dari mana
beberapa suku padang Shara memperoleh uang dan peralatan yang membuatnya mampu
dengan serangannya mencapai wilayah-wilayah terpencil dan jauh dari
kedudukannya di Najed, menggantikan posisi negara-negara besar yang sedang
berkonflik di atasnya, serta menentang para wali negara Utsmani hingga
memaksanya untuk meminta bantuan wali Mesir guna menghadapi pasukan bersenjata
mereka. Kemudian wali Mesir menyerang mereka dan menghilangkan sumber kerusakan
yang terus berusaha untuk memecah tongkat ketaatan dan jamaah kaum Muslim,
serta mencerai-beraikan persatuan mereka. Padahal ketika itu, minyak bumi belum
ditemukan untuk mendanai berbagai serangan. Juga industri pedang dan baju besi
tidak ada di pasar Najed, untuk mempersenjatai tentara agar mampu melancarkan
berbagai serangan yang kuat di timur, barat, utara dan selatan! Sungguh tidak
diragukan lagi bahwa ia tidak lain adalah tangan-tangan (antek) Inggris!
Amin
ar-Raihani dalam kitabya Mulûk al-Arab, hlm. 56, menulis tentang Abdul
Aziz Al Saud yang mengatakan: “Orang-orang berpikir bahwa kami menerima
sejumlah besar uang dari Inggris. Padahal yang benar, bahwa Inggris tidak
membayar kami kecuali sedikit guna mewujudkan sejumlah perbuatan yang kami
lakukan untuk kepentingan mereka selama dan setelah perang. Antara kami dan
mereka ada perjanjian yang akan kami jaga sekalipun hal itu akan membahayakan
diri kami dan kepentingan kami. Inggris berutang pada kami, dan kami tidak
meminta selain apa yang menjadi hak bapak dan kakek kami. Agar hal itu
diketahui oleh sahabat kami, Inggris.” Sejumlah pemberian itu diakui oleh
Pangeran Talal bin Abdul Aziz, dalam sebuah wawancara dengannya di Aljazeera,
dalam program “Syâhid ala al-Ashr”.
Utsman
Bakhasy
Direktur
Pusat Media Informasi Hizbut Tahrir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar