PERAN MEDIA
PROPAGANDA DALAM MENEGAKKAN DOKTRIN KEMAHDIAN
Sekarang
setelah menjadi jelas bahwa doktrin kemahdian (percaya kepada adanya Muhammad
bin Hasan al-Askari) diciptakan oleh beberapa ghulat dan mutakalimin, dan
orang-orang yang mempunyai kepentingan pribadi, yang setelah itu mengklaim
untuk diri merka bahwa mereka wakil Imam yang sedang ghoyb. Adalah jelas juga
bahwa doctrin tersebut pada kenyataannya tidak valid dan hanya sekedar
hipotesis akal yang dikemukakan pada zaman kebingungan setelah wafatnya Imam
al-Askari yang tidak meninggalkan seorang anakpun yang akan mewarisi Imamahnya.
Setelah semua penjelasan ini, pertanyaan yang sewajarnya akan muncul adalah:
- Bagaimana kemudian sebuah hipotesa akal dan doktrin seperti ini menemukan jalannya sehingga merasuki akal pikiran dan hati jutaan umat Islam Syiah 12 Imam dan lain-lainnya sepanjang sejarah?
- Dan bagaimana doktrin tersebut menjadi mapan dan kuat?
Sebelum
menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kami harus mengatakan:
Bahwa
Syi’ah awal pada zaman para Imam dari Ahl al-Bayt (AS) sama sekali tidak
mengenal doktrin ini, dan bahkan Syiah pada periode yang masih dekat dengan
zaman setelah wafatnya Imam Hasan al-Askari sama sekali juga tidak mengenal
doktrin ini. Adalah benar bahwa Syiah Imamiah pada zaman itu terjun ke dalam
lembah kebingungan ketika mereka menghadapi kenyataan bahwa tidak ada pewaris
Imamah yang nampak yang menggantikan Imam mereka saat itu (Hasan al-Askari).
Identitas Mahdi secara utuh tidak dikenal oleh mereka dan merupakan salah satu
persoalan yang mengenainya tidak ada tanda-tandanya sama sekali. Orangnya tidak
spesifik dengan nama tertentu untuk posisi tersebut. Nyatanya, hanya salah satu
dari 14 (empat belas) faksi yang mengemukakan tentang adanya seorang putra dari
Imam Hasan al-Askari. Hal ini berarti bahwa pada periode dekat sebelum ghoybah
tidak terdapat suara bulat diantara Syiah mengenai masalah ini (bahwa Imam Hasan
mempunyai seorang putra). Beberapa Syiah mungkin telah cenderung mengangkat
doktrin ini.
Kemudian
setelah selama hampir lima puluh tahun, Syi’ah pada umumnya meninggalkan ide
tersebut dan menarik diri dari ide itu. Kulayni (dalalam al-Kafi) dan Khussaibi
(dalam al-Hidayatul Kubra) telah mendokumentasikan fenomena pembatalan opini
yang mengatakan bahwa seorang anak pernah ada bersama teman-temannya sesama
murid di suatu kota. (1)
Murid
Kulayni, Muhammad bin Abi Zainab al-Numani (wafat 340 H) menyatakan dalam
bukunya (al-Ghoybah): “Saya melihat sekelompok orang penganut Sekte Syi’ah dan
percaya pada Imamah terpecah dalam tindakan dan kata-kata mereka. Semua orang,
kecuali sedikit cenderung untuk bertanya tentang eksistensi Imam pada zaman
mereka, pelindung mereka, hujjah dari Tuhan mereka. Keragu-raguan dan
kecurigaan terus mengahantui pikiran mereka… Dan sebagai hasilnya, mereka
mengalami kebingungan, kebutaan dan kehilangan yang mendalam. Hanya sedikit
kebaikan yang masih ada pada mereka. (2)
Pada
bagian lain dalam bukunya, ia menyatakan: “Kebingungan tersebut lebih besar
daripada sekedar bingung yang telah menimpa sekelompok besar masyarakat. Karena
permasalahan inilah banyak orang yang telah meninggalkan paham Syi’ah hingga
hanya tersisa sedikit, yaitu mereka yang menganut sekte ini, semua ini karena
ketidakpastian yang dihadapi oleh orang-orang“ (3).
Al-Numani
meriwayatkan sejumlah ahadits yang berbicara tentang terjadinya kebingungan
setelah ghoybah. Ia menggambarkan keadaan kebingungan yang melanda komunitas
Syiah pada zaman itu, sambil berkata: “Kebanyakan dari mereka berkata di balik
tirai:
- Ok, dimana dia dan dimana ia bisa ditemukan?
- Sampai kapan ia tetap bersembunyi dan hingga umur berapa, sementara saat ini dia telah berumur lebih dari 80 (delapan puluh) tahun?“.
Beberapa
dari mereka tetap berpendapat bahwa ia sudah wafat, dan beberapa dari mereka
menolak kelahirannya dan kemudian menyangkal angan-angan keberadaannya, dan
mereka mengolok-olok kepada mereka yang menganut kepercayaan tersebut. Beberapa
dari mereka melihat bahwa periode menunggu terlalu panjang dan melampau batas
waktunya. Dia berkata: “Kebanyakan Syiah pada zaman itu telah meninggalkan
(paham Syiah) dan terombang-ambing ke kanan dan ke kiri…Generasi yang lebih
belakangan percaya kepadanya setelah kehilangan harapan. Mereka mengolok-olok
kepada mereka yang percaya pada doktrin Imamah; dan menggambarkan mereka
sebagai kelompok yang tidak punya harapan. Ia menggambarkan mereka yang percaya
kepada adanya Imam ke-12 sebagai sekelompok kecil orang dari sejumlah besar
Syi’ah yang terpisah karena semangat dan percaya pada adanya Imam ke-12,
meskipun orang dan ghoybah-nya yang lama sebenarnya tidak ada dan tidak
terjadi. (4)
Sheikh
Mohammed bin Ali bin Babawayh Saduq (wafat 381 H) pada pendahuluan bukunya
(Ikmal al-Din Wa Itmam al-Ni’mah) mengemukakan tentang keadaan kebingungan yang
melanda Syiah, sambil berkata: “Saya menemukan kebanyakan Syi’ah yang datang
kepada saya untuk mendapatkan nasehat dalam keadaan kebingungan tentang
ghoybah. Diantara mereka, beberapa adalah mereka yang diombang-ambingkan
tentang urusan Qoim (satu-satunya yang bangkit) yang mencurigakan dan merevisi
penggunaan pandangan dan metodologi tersebut. Seorang syekh yang dihormati
diantara orang-orang yang diberi kebijaksanaan, kehormatan dan kecerdasan
datang kepada kami di Qum dari Bukhara, ketika ia berbicara kepada saya suatu
hari, ia bercerita tentang seorang pria yang telah ia temui di Bukhara, seorang
filsuf terbesar dan ahli mantiq mengatakan tentang Qoim dalam kondisi
kebingungan dan ragu-ragu tentang urusannya. (5)
Kulayni
dan Numani dan Saduq telah melaporkan sejumlah ahadits yang mengkonfirmasi
terjadinya kebingungan setelah Ghoybah Sahib al-Zaman dan keretakan telah
terjadi diantara komunitas Syiah, demikian juga disintegrasi mereka selama
periode itu dan saling tuduh satu sama lain, menuduh mereka murtad, saling
menghina dan bahkan yang satu mengutuk yang lain. Ia menceritakan kepada kami
bagaimana Syi’ah terombing-ambing seperti sebuah perahu dalam arus air yang kuat
dan bagaimana mereka pecah seperti kaca atau keramik. Ia juga menyebutkan
perkataan mereka bahwa Shahib al-Amr telah wafat dan bagaimana umumnya mereka
menjadi bimbang dan tidak lagi mantap pada keyakinan mereka, kecuali sedikit
dari mereka.(6). (Note: rupanya mengutuk dan mencaci merupakan budaya Syiah
Parsi sejak zaman dahulu, bahkan sesama mereka sendiri)
Terlepas
dari berbagai ahadits yang dibuat atau diambil dari gerakan kemahdian zaman
dahulu, namun fakta bahwa Kulayni, Nu’mani, Khussaiby dan al-Saduq dan lainnya
yang juga mengutip dan menggunakan ahadits ini pada Syi’ah pada abad keempat,
mengungkapkan permulaan kebiasaan Syi’ah pada umumnya dalam mengotbahkan
doktrin tentang adanya Muhammad bin Hasan al-Askari pada zaman itu, setelah
menyokong doktrin itu pada suatu zaman sebelumnya. Jika suatu zaman di kemudian
hari doktrin tersebut telah menjadi mapan yang tidak bisa dipertanyakan dan
tidak bisa diubah pada sebagian Syi’ah, yang dijuluki Syian 12 Imam, maka hal
ini bisa terjadi karena proses propaganda masal yang dilakukan oleh para
pengklaim wakil Mahdi yang lihai dan kaki tangannya, dan dampaknya telah
berkembang jauh hingga hari ini. Proses propaganda tersebut terdiri dari,
antara lain adalah:
1.
Sirkulasi berbagai hadits palsu
Ahadits
tersebut berisi kisah bohong tentang adanya pembatasan jumlah Imam yang hanya
12 orang dan tentang adanya Mahdi, Imam ke-12. Hal ini telah diuraikan dan
dikritik pada bab-bab terdahulu dan pada bab kritik terhadap bukti keberadaan
Mahdi (bab XVI – XVIII).
2.
Media propaganda.
Para
pemilik teori ini, selain itu, telah melakukan serangkaian propaganda yang
menuduh mereka yang tidak percaya tentang adanya Mahdi (Muhammad bin Hasan
al-Askari) sebagai kafir, murtad, perbuatan maksiat dan sesat. Dan dikhotbahkan
bahwa penolakan terhadap adanya Imam Mahdi sama dengan penolakan terhadap
adanya Nabi (Muhamad SAW), sebagai pembohong dan menolak Nubuwwah. (7)
Mereka
menggunakan sarana informasi publik untuk mengkhotbahkan beberapa ahadits kuno
tentang: “barang siapa mati dengan tidak mengetahui Imam pada waktu itu (Imam
al-Zaman) dianggap mati jahiliyyah“. Mereka menafsirkan hadits tersebut sebagai
“mengetahui Tuan Zaman (Shohib al-Zaman) dan Pemimpin pada zaman ini (Shohib
al-Amr) adalah Pembimbing yang ditunggu (Al-Mahdi Al-Muntadhor)“ dan menganggap
setiap orang yang tidak mengetahui dan tidak percaya tentang hal ini ia akan
mati sebagai mati jahiliyyah, meskipun tidak ada infromasi tentang cara untuk
mengenal kehadiran Mahdi dan bagaimana cara berkumpul di sekitar Mahdi dan
bagaimana cara mendukung dia dan mengikuti dia. (8)
Muhammad
bin Uthman Al-Umari (Wakil Mahdi ke-2 yang diakui oleh Syiah 12-Imam)
mengatakan bahwa dia mendengar Hasan al-Askari mengatakan: “Barangsiapa mati
tanpa mengetahui anak saya telah mati jahiliyyah“.
Al-Umari
telah berbuat terlalu jauh dalam kampanyenya yang sangat ofensif dimana ia
menuduh mereka yang merasa skeptis tentang adanya Mahdi sebagai orang yang
memisahkan diri dari al-Diin (murtad), orang yang ragu-ragu dan keras kepala terhadap
al-Haq. Ia membuat dekrit atas nama Mahdi yang isinya mencela orang-orang yang
tidak percaya kepadanya dan mengancam dengan azab yang berat. Tentu saja Sheikh
Abu Abdullah Ja’far al-Humairi al-Qummi dan Saad bin Abdullah Al Asy `ari Qummi
(keduanya dari Qum), telah sangat membantu menyebarkan dekrit tersebut di
kalangan Syiah pada zamannya.
3.
Doa dan kunjungan ritual.
Doa-doa
dan kunjungan ritual memainkan peranan yang paling penting sebagai media yang
sangat memberikan kontribusi dalam proses penegakan doktrin kemahdian (Mahdi
Muhammad bin al-Hasan) di antara Syiah, karena doa-doa dan kunjungan ritual
mempunyai peranan penting yang berpengaruh secara internal dalam kehidupan
orang-orang. Syiah terus menerus membaca doa-doa segera setelah setiap sholat
dan setelah upacara-upacara keagamaan. Mereka juga rajin mengunjungi makam Imam
yang sudah wafat setiap hari Jum’at.
Doa-doa
dan kunjungan yang secara umum dilakukan oleh Syi’ah dibagi menjadi dua bagian:
A.
Doa-doa yang bersifat umum
Doa-doa
tersebut sebenarnya bersifat umum dan tidak spesifik ditujukan kepada Muhammad
bin Hasan al-Askari, tetapi berkisar sekitar Qoim (Satu-satunya yang akan
bangkit) atau bersifat umum. Contoh dari ini adalah doa untuk Tuan komando
(Du’a Shohib al-Amr), merupakan do’a selama periode okultasi Imam, yang
ditrasmisikan dari Imam-imam sebelumnya seperti Imam Baqir, Imam Sadiq, Imam
Kadhim dam Imam Ridha. Do’a ini cocok bagi kondisi ketidakpastian terkait
dengan permasalahan Mahdi itu sendiri dan tidakadanya identifikasi tentang dia
pada zaman ketika para Imam masih hidup. Kita telah mendiskusikan hal ini pada
bab-bab sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kata-kata dalam do’a
kunjungan ritual ditransmisikan dari warisan Syiah zaman sebelumnya, misalnya
dari beberapa sub sekte Syi’ah seperti al-Waqifiyyah yang percaya bahwa Imam
Kadhim adalah Mahdi. Generasi Syi’ah belakangan telah menerapkan doa-doa dan
kunjungan ritual tersebut kepada Muhammad ibn al-Hasan, seorang Mahdi yang
dianggap wujud sesuai asumsi awal mereka. Sehingga suatu saat tercipta kondisi
zaman di mana nama Mahdi kehilangan makna umumnya, dan menjadi bermakna lain,
yaitu hanya Imam Muhamad bin Hassan al-Askari. Tidak lagi ada yang
mempertimbangkan hal yang meragukan dari ahadits tersebut dan tidakadanya identifikasi
yang jelas siapa sebenarnya Madi yang dimaksudkan oleh hadits tersebut.
B.
Do’a-do’a yang bersifat khusus.
Terdapat
doa-doa yang didalamnya nama Muhammad bin Hasan al-Askari disebutkan, sebagai
contoh: doa pada bulan Ramadan dan doa pada saat mengawali dan mengakhiri
pembacaan al-Quran. Contoh lainnya adalah doa pada hari ke-13 bulan Ramadan,
doa-doa Perjanjian dan al-Nadbah. Sebagai tambahan dari itu, mereka melakukan
kunjungan ritual ke makam para Imam mereka dan mengunjungi ruang bawah tanah tempat
dimana Mahdi dahulunya dianggap bersembunyi di Samirra’i (Surr man Ra’a) yang
dikenal sebagai Bab al-Ghoybah. Doa-doa dan kunjungan ritual ini disusun secara
terpisah ataupun disertkan dalam kumpulan ahadits. Mereka juga melakukkan
doa-doa umum yang nama Mahdi ditambahkan ke dalamnya.
Yang
berbeda dari doa-doa dan kunjungan ritual ini adalah ketika nama Mahdi
disebutkan secara khusus setelah daftar nama-nama imam satu per satu secara
berurutan, mereka mengabaikan rantai transmisi (asanid) ahadits dan bergantung
pada perawi yang tidak dikenal. Perlu digarisbawahi di sini bahwa do’a-do’a
tersebut asalnya dari Utsman bin Saeed Al-Umari (Pengklaim Mahdi I) atau
Muhammad bin Utsman al-Umari (Pengklaim mahdi II) atau Al-Hussein bin Roh
Nukhbati (Pengklaim Mahdi III) atau Muhammad bin Ja’far al-Himyari – salah
seorang kaki tangan al-Umari di kota Qom.
Diriwayatkan
oleh Sayyid Ibnu Tawus (di Muhj al-Da’wat) sebuah do’a di mana ia melihat cocok
untuk diucapkan pada hari ghoybah, dan ia mengatakan bahwa ia melihat seseorang
di dalam mimpi yang memberitahu tahu dia do’a itu! (11).
Al-Majlisi
meriwayatkan sebuah hadits melalui otoritas Ali bin Mohammad bin Abdul Rahman
al-Bashari yang berkata: “Suatu kali saya memasuki masjid Sa’sa’ah (di Kufa).
Di sana saya melihat seorang pria dengan pakaian Hijaz dan memakai sebuah
turban seperti orang-orang Hijaz, mengucapkan do’a ini yang dimulai dengan
kalimat: “Ya Rob-ku yang kebaikannya berlimpah ruah…”. Dan kemudian ia
membungkuk untuk sujud yang panjang, setelah itu ia bangun dan duduk diatas
punggung unta dan pergi. Sahabat saya kemudian berkata kepada saya: “Demi
Allah, itu adalah Sahib al-Zaman” (12).
4.
Ritual-ritual dan cerita-cerita yang terkait dengan melihat Mahdi di dalam
mimpi.
Sebagai
tambahan terhadap adanya do’a dan kunjungan ritual yang dilaporkan terkait
Mahdi, ada beberapa ritual yang memainkan peranan yang penting dalam
mengokohkan doktrin tentang adanya Mahdi, yang mengubah sebuah khayalan menjadi
menjadi sebuah realitas di benak kaum Syiah 12-Imam. Sebagai contoh, membungkuk
ketika mereka mendengar nama al-Qoim dan bangun berdiri untuk menghormati dia.
Inilah yang dilakukan komunitas religius Syiah pada umumnya hari ini dan sudah
dilakukan sejak zaman dahulu (sejak dipropagandakan). Dan hal ini mengakibatkan
adanya rasa hormat, kagum, memuliakan dan kesadaran akan kehadiran Mahdi dan
memperlakukannya seperti terhadap manusia yang hidup yang hadir di
tengah-tengah masyarakat.
Terdapat
banyak cerita yang beredar di kalangan elit dan komunitas utama Syiah tentang melihat
Mahdi dan bercakap-cakap dengannya yang dialami oleh masyarakat biasa maupun
para ulama. Al-Majlisi telah meriwayatkan sejumlah besar cerita seperti ini
dalam koleksinya yang berjudul Bihar al-Anwar, vol 51. Semua ini memainkan
peranan penting dalam mempromosikan doktrin kemahdian dan mengubah sebuah
khayalan menjadi cerita yang lebih mendekati kenyataan, terutama karena ia
telah meriwayatkan kisah-kisah itu yang diatributkan kepada sekelompok
orang-orang sholeh dan ulama yang zuhud dan terkemuka.
Di
Kufah, di Irak terdapat sebuah masjid yang disebut masjid al-Shala yang dikenal
sebagai masjid Imam Mahdi. Dikatakan bahwa barang siapa yang tekun/ khusus’
melakukan sholat di masjid itu selama empat puluh hari Rabu malam, akan bisa
melihat Imam Mahdi. Terdapat beberapa masjid di sana-sini di Irak, yang dikenal
sebagai Maqomat atau tempat suci Imam Mahdi. Telah didesas-desuskan bahwa Imam
Mahdi pernah terlihat sholat di tempat-tempat itu dan oleh karena itu
masjid-masjid dibangun tempat itu. Masjid-masjid atau tempat-tempat suci itu
juga memainkan peran penting dalam mempromosikan keimanan pada doktrin
kemahdian yang dikemukakan oleh Syiah 12-Imam, yang mengubah suatu dugaan/
khayalan menjadi realitas fisik yang dialami oleh orang-orang dan melihatnya dengan
mata kepala mereka sendiri.
Dengan
cara inilah, propaganda penyebaran kemahdian dengan berbagai aspeknya telah
memainkan peranan yang besar dalam menyebarkan doktrin adanya Imam Mahdi dan
menetapkannya dalam pikiran komunitas Syiah kebanyakan. Semua ini juga
mengubahnya dari alam mitos, dugaan, khayalan menjadi fakta yang sudah jelas
kebenarannya yang tidak perlu dipertanyakan, (Note: seperti kasus Yesus adalah
Tuhan).
Referensi:
1.
Al-Kafi vol. 1 hal. 518 dan Al-Nihayah hal. 360.
2.
Al-Nu’mani: al-Ghoybah hal. 20.
3.
Ibid. hal. 186.
4.
Ibid. hal. 157.
5.
Ibid. hal. 3.
6.
Al-Kafi vol. 1 hal. 336, 340; al-Ghoybah hal. 89, 206, 208; Ikmal al-Din hal.
408; Uyun al-Akbar oleh al-Riada hal. 68.
7.
Saduq: Ikmal al-Din hal. 338, 361, 409, 410, 412, 413.
8.
Ibid. hal. 412, 113
9.
Ibid. hal. 409.
10.
Al-Sahifah al-Mahdiyyah oleh Ibrahim bin al-Muhsin al-Kashani hal. 97; Mafatih
Jinan oleh Sheikh Abbas al-Qumi hal. 588; al-Syi’ah wa al-Raj’ah oleh Sheikh
al-Tusi hal. 202; Bihar al-Anwar oleh al-Majlisi vol. 18 hal 439.
11.
Mikyal al-Makarim fi Fawa’id al-Du’a Li al-Qa’im oleh Muhammad Taqiyyu
al-Musawi al-Isfahani hal. 101.
12.
Al-Sahifah al-Mahdiyyah oleh al-Kashani hal. 138.
Setelah
membongkar mitos bukti akal, hadits dan sejarah yang disampaikan oleh para
pendukung doktrin kemahdian (percaya akan adanya Mahdi Muhammad bin Hasan
al-Askari), dan bahwa hal itu hanyalah khayalan yang diciptakan oleh sekelompok
orang yang bergerak di bawah tanah secara rahasia. Maka, muncul pertanyaan
penting yang paling memalukan:
- Siapa orang di balik penciptaan doktrin yang aneh ini?
- Bagaimana mereka mampu menciptakannya?
- Apa kepentingan mereka dibalik itu?
- Bagaiman gambaran budaya dan iklim intelektual pada zaman itu?
- Mengapa mereka lebih memilih opsi untuk mengatakan bahwa ada seorang anak yang lahir dari Imam Hasan, dari pada memilih opsi lain yang ada di kalangan Syiah Imamiah pada zaman kebingungan saat itu?
- Bagaimana mereka bisa berhasil dalam menyebarkan doktrin tersebut?
Adalah
tidak mungkin untuk medapatkan jawaban yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan
tersebut dan mencari solusinya yang akurat, kecuali dengan kembali ke belakang
dan mempelajari situasi sejarah Syiah secara umum selama tiga abad pertama dari
kelahiran doktrin tersebut. Kita harus menelusuri akar dari pergerakan
kemahdian sebelumnya dan hubungannya dengan kelompok ghulat al-batiniyyin yang
telah berusaha untuk tetap mengaitkan doktrin mereka dengan Nabi, Imam Ali dan
beberapa Imam keturunannya.
Hubungan
antara Kemahdian dan ghulat yang terjadi pada zaman sebelum Imam al-Askari.
Di
bagian 2 kami telah mengungkapkan kisah tentang munculnya sekitar 20 (dua
puluh) pergerakan Mahdi, yang sebagian besar darinya diciptakan oleh sekte
ghulat. Kita telah melihat bahwa doktrin kemahdian yang pertama dalam sejarah
Syiah adalah tentang Amir al-Mukminin Ali bin Abi Tholib (AS) yang telah
diciptakan oleh ekstremis al-Sab’iyya yang menganut keyakinan secara ekstrim
terhadap pribadi Imam Ali dan mengangkat dia hingga ke status keilahian. (1)
Doktrin
kemahdian kedua adalah tentang Muhammad bin Hanafiyyah, yang diciptakan oleh
ekstremis sekte Kisaniyyah, yang dipengaruhi oleh faksi Karbiyyah yang
merupakan bagian dari ekstrimis Sab’iyya. (2)
Seorang
ekstremis sekte Kisaniyyah yang bernama Hamzah bin Ammara al-Barbariyyi telah
mengembangkan doktrin kemahdian Ibnu Hanafiyyah dan menyatakan bahwa ia adalah
Tuhan dan Karb adalah Nabinya, sementara ia sediri merepresentasikan sebagai
seorang imam yang ditunjuk oleh Tuhan. (3)
Setelah
itu beberapa sub sekte muncul dari gerakan sekte ghulat. Salah satu darinya
dikenal sebagai sekte Bayaniyyah yang dipimpin oleh Bayan al-Nahdi mengumumkan
kemahdian dari Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin Hanafiyyah dan kemudian
mengklaim untuk dirinya bahwa ia wakil mahdi dan kenabian dari Abu
Hasyim. (4)
Pecahan
lain dari sekte ghulat Kisaniyyah yang juga dikenal sebagai al-Janahiyyah juga
mengumumkan kemahdian dari Al-Tha’ir al-Talibi (Abdullah bin Muawiyah bin
Jaafar Al-Tayyar) (5).
Epidemi
paham ghulat ditularkan dari sekte Kisaniyyah kepada sub sekte Zaidiyyah, yang
mengumumkan kemahdian dari Dhi al-Nafs al-Zakiyyah (Muhammad ibn Abd Allah ibn
al-Hasan ibn al-Hasan), dimana beberapa dari mereka menolak untuk mengakui
kematiannya dan berkata bahwa ia telah pergi okultasi (ghoybah). Apa yang
terjadi pada gerakan Kisaniyyah juga terjadi pada mereka, ketika seorang yang
bernama Mughirah bin Sa’id mengembangkan doktrin kemahdian dan mengklaim Imamah
untuk dirinya sendiri dalam kondisi tidak adanya Dhu al-Nafs al-Zakiyya dan
kemudian mengembangkan lebih jauh dengan mengklaim bahwa dirinya adalah seorang
Nabi dan Rosul dan ia mendapat wahyu dari Tuhan melalui Jibril, sebagaimana
yang diceritakan oleh Nukhbati dan Ash’ari. (6)
Setelah
itu semangat ghulat disebarkan oleh sekte al-Mughiriyyah ke sekte
al-Khattabiyyah, yaitu para pengikut Abu al-Khattab Muhammad bin Zaynab
Al-Ajda’, yang telah melebih-lebihkan Imam Shadiq (AS) dan mengkultuskan dia.
Ia mengumumkan Imamah bagi Ismail bin Jafar as-Sadiq dan menolak untuk mengakui
kematiannya pada saat ayahnya masih hidup, dan mereka mengumumkan Ismail
sebagai Mahdi dan pergi bersembunyi/ okultasi (ghoybah).
Dekat
dengan iklim ekstremisme yang tidak logis itu, sub sekte yang lain dari
kelompok Syiah Imamiyah Fat-hiyyah mengumumkan kemahdian dari Muhammad bin
Abdullah al-Aftah bin Ja’far al-Shadiq. Dan ini merupakan klaim kemahdian
yang plaing aneh pada zaman itu, karena nama Mahdi yang diumumkan adalah orang
khayalan yang tidak pernah ada. Klaim ini terjadi setelah meninggalnya Imam
Abdullah Al-Aftah yang tanpa meninggalkan seorang putra sebagai penerus
keimamahan beliau. Mereka mereka-reka adanya anak dari Imam Abdullah karena
keyakinan mereka pada perlunya keberlanjutan Imamah secara turun-temurun hingga
hari kiamat, dan tidakdipoerbolehkannya dua orang bersaudara menjadi Imam
secara berurutan. Pada mulanya pengumuman tentang adanya Muhammad bin Abdullah
al-Aftah adalah semata-mata hipotesa filosofis (bahasa keren dari “khayalan”),
tetapi setelah itu mereka membuat sejumlah kisah palsu yang berisi tentang
pertemuan dengan Mahdi dan menyaksikan Mahdi di sini dan di sana. Mereka juga
mengarang cerita tentang beberapa mu’jizat untuk menunjukkan bahwa Mahdi
Muhammad bin Abdullah benar-benar ada. (Note: cara atau jalan inilah yang di
kemudian hari ditempuh oleh suatu sekte Syi’ah setelah wafatnya Imam al-Askari
yang pada faktanya tidak mempunyai anak. Nama anak “khayalan” tersebut juga
Muhammad. Sekte ini pada zaman ini dikenal dengan sebutan Syiah 12 Imam, yang
sedang mencoba untuk menyebarkan doktrinnya dengan sebutan yang memikat “mazdab
Ahlul Bait”).
Pecahan
dari sekte-sekte ini, ada sub sekte Syiah Imamiyah lainnya yang dipengaruhi
oleh sekte ghulat yang bernama al-Waqifiyyah, yang mengumumkan kemahdian dari
Imam Musa al-Kazim (AS) dan ghoybahnya dan kelangsungan hidupnya hingga waktu
yang tidak diketahui. Beberapa diantaranya mengklaim bahwa Imam Kazim telah
meninggal dan bangkit dari kematiannya dan pergi bersembunyi di tempat yang
dirahasiakan.
Sebagaimana
kasus Syiah Kisaniyyah dan Zaidiyyah yang mengeksploitasi beberapa tokoh kunci
mereka untuk menyebarkan doktrin kemahdian dan klaim Imamah atau kenabian, satu
dari pendukung Waqifiyyah yang bernama Muhammad bin Bashir al-Kufi mengklaim
bahwa dirinya khalifah dan sebagai wakil khusus Imam Kazim dan bisa
bertemu dengan Imam Kadhim di tempat peresembunyiannya. Ia melakukan hal ini
dalam rangka memperoleh manfaat yang besar secara finansial dan politik. Ia
kemudian memindahkan jabatannya sebagai wakil Mahdi kepada anaknya, Sami’, dan
kepadanya diberikan surat wasiat setelah kematiannya. Dia berkata: Ia adalah
Imam yang kepadanya ketaatan adalah wajib bagi semua orang, hingga munculnya
Musa (Kadhim). Sehingga khumus yang dikenakan atas kekayaan mereka dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah, harus diberikan kepadanya hingga Qa’im muncul.
(10) (Note: di kemudian hari, cara ini juga ditempuh oleh pendukung sekte
Syi’ah 12 Imam, yaitu yang dilakukan oleh puluhan orang yang mengklaim menjadi
wakil khusus Mahdi khayalan Imam ke-12. Namun yang berhasil mengecoh masyarakat
Syiah pada zaman itu hanya seorang, yaitu Usman bin Said al-Umari (wakil Mahdi
ke-1). Dia juga mewariskan klaimnya sebagai wakil Mahdi kepada anaknya).
Menurut
Nukhbati dan Ash’ari: Mohamad bin Bashir adalah ghulat tingkat tinggi dalam
mengatakan tentang adanya reinkarnasi, pendelegasian (al-tafwid) dan pembolehan
(al-Ibahah) secara mutlak. (11)
Tafsir
Batiniyyin
Selain
mengumumkan kemahdian dan berlebih-lebihan dalam mengkultuskan Imam, yang
mempunyai ciri sebagai bagian dari gerakan Islam Syi’ah secara luas, ada juga
paradigma tafsir batiniyyin. Pada kenyataannya kebanyakan dari ajaran/ doktrin
palsu tersebut tidak akan tegak dan diterima, kecuali dengan melakukan
penafsiran ulang pada setiap peristiwa dan pernyataan dalam ahadits dan menolak
mengakui fakta-fakta sejarah yang nyata terlihat dengan indera. Mereka juga
mengarang cerita suatu kejadian atau menciptakan tokoh yang tidak pernah ada,
seperti menolak untuk mengakui wafatnya Amir Al-Mukminin Ali bin Abi Thalib
atau wafatnya Muhammad bin al-Hanafiyyah, atau wafatnya anaknya – Abu Hasyim,
atau wafatnya Dhu al-Nafs al-Zakiyyah, atau wafatnya Imam Sadiq, atau wafatnya
putranya – Ismail, atau wafatnya Imam al-Kadhim, dan menciptakan adanya anak
(khayalan) dari Abdullah al-Aftah yang wafat tanpa meninggalkan anak yang
dikenal secara umum, dan mengumumkan bahwa ia mempunyai seorang anak secara
rahasia yang ia sembunyikan dalam rangka taqiyyah (khawatir akan dizalimi oleh
rezim kejam anti Syiah).
Khattabiyyah,
para pengikut Muhammad bin Abi Zainab Al-Ajda’ biasa menganut bentuk yang lebih
parah dari pada keyakinan ghulat pada Imam Shadiq dan percaya bahwa ia adalah
Tuhan. Dan benar bahwa beberapa anggota dari kelompok ini pergi haji ke Bait
Allah di Mekah sambil mengucapkan: “Kami datang – memenuhi panggilanmu – wahai
Ja’far (Labbayka yaa Ja’far Labbayk). Imam Shadiq merasa terganggu dengan
perilaku mereka, lalu bersujud ke tanah, mencela mereka dengan keras dan
kemudian mengutuk Abu Al-Khattab. Beberapa dari pengikut Al-Khattab pergi
menghadap kepadanya dan mengatakan kepadanya bahwa Imam Sadiq telah mengutuk
dirinya, dan ia menanggapi mereka dengan mengatakan bahwa Imam sebenarnya tidak
mengutuk dirinya, tetapi mengutuk orang lain yang namanya sama di Basrah,
sementara dirinya tinggal di Kufah. (Note: dengan latar belakang seperti ini,
maka bukan merupakan sesuatu yang aneh jika Syiah hari ini masih mewarisi
kebiasaan menyeru Imam mereka seperti: ya `Ali, ya Husein dll, walau mereka
tidak separah para pendahulunya yang menganggap para Imam sebagai Tuhan).
Para
pengikutnya kemudian kembali menemui Imam Shadiq di kota dan menceritakan
kepadanya tentang apa yang dikatakan oleh Abu al-Khattab; dan Imam kemudian
secara terperinci menyebutkan identitasnya dengan menyebut namanya dan nama
keluarganya, tempat tinggalnya dan semuanya yang spesifik dari dirinya dan
mengulangi kutukannya dan berlepas dari ucapan al-Khattab. Ketika para
pengikutnya kembali memberitahu kepadanya tentang jawaban Imam, Abu al-Khattab
menolak untuk mencabut ucapannya dan tetap bersikukuh pada pendiriannya. Ia
tidak hanya melanjutkan klaimnya berafiliasi dengan Syiah dan mempertalikan
keturunanannya dengan Imam Sadiq, namun ia bahkan secara rahasia tetap
mengatributkan kata-kata dari dirinya kepada Imam. Menurut dia, Imam secara
terbuka telah mengutuknya, sehingga ia harus menjaga doktrin dari Imam seperti
yang dilakukan oleh Khidr dengan merusak kapal untuk menyelamatkannya dari
dirampas dan disita. Ia kemudian membacakan ayat berikut: “Adapun bahtera itu
adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan
merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas
tiap-tiap bahtera“ al-Kahfi:79. (12) (Note: Syiah hari inipun jika kepada
mereka diungkapkan hadits dari salah seorang Imam yang disampaikan kepada umum
yang isinya menentang doktrin mereka, maka merekapun akan mengatakan bahwa itu
diucapkan oleh Imam dalam keadaan taqiyyah. Demikian juga dalam menafsir
al-Quran, mereka menakwil (memesongkan) kata yang sudah jelas maknanya
disesuaikan dengan doktrin mereka).
Baatiniyyin
biasa mengatributkan banyak ucapan dan pandangan mereka kepada para Imam dari
keturunan Ali (AS) secara rahasia yang isinya bertentangan dengan apa yang
secara umum dan terbuka diajarkan oleh para Imam kepada orang-orang, yang oleh
karenanya bertentangan dengan posisi yang sebenarnya dari para Imam. Ketika
para Imam menyangkal ucapan-ucapan yang aneh seperti itu dan mengutuk atau
menolaknya, maka Baatiniyyin tetap berpegang teguh pada kata-kata mereka dan
menafsirkan penolakan Imam terhadap klaim mereka sebagai taqiyyah dan khawatir
akan adanya bahaya ketika mengungkapkan kebenaran atau adanya bahaya ketika
membicarakan tentang sesuatu yang tidak diterima masyarakat. Terlepas dari
palsunya pernyataan tanpa bukti perihal taqiyyah dan pengatributannya kepada
anggota/ Imam keturunan Ali dengan suatu cara yang bertentangan dengan
kejujuran dan dalam rangka pelestarian ajaran Aimmah, pada kenyataannya
Batiniyyin mengatur permainan dengan peran yang besar dalam sejarah Syiah.
Mereka menyesatkan masyarakat dari ajaran yang dianut Imam Ali dan
keturunannya, sepanjang zaman hingga era Imam Hasan al-Askari, yang meninggal
dunia tanpa meninggalkan seorang anakpun dan ia menyatakan dalam wasiatnya
bahwa hartanya diberikan kepada ibunya. Siapa – pada zaman itu – yang
mengatakan bahwa dia mempunyai seorang anak?. Kenyataan ini telah diterima oleh
seluruh umat Islam pada zaman itu dan sebagian besar masyarakat Syiah, yang
kemudian mereka mengumumkan Jafar bin Ali al-Hadi sebagai Imam yang ditunjuk,
sementara yang lain menganggap bahwa Imamah telah berhenti dan yang lain tetap
berpegang pada prinsip syura’. Namun demikian, kelompok ghullat al-batiniyyin
telah menolak kenyataan itu, dan bersikeras menciptakan adanya kisah rahasia
dan mengklaim bahwa Imam Hassan al-Askari mempunyai seorang anak tersembunyi
yang dirahasiakan karena khawatir dibunuh (oleh musuh) dan juga karena praktek
taqiyyah. Pecahan Syiah yang lain mengoreksi keyakinan mereka dan tidak percaya
pada Imamah Hasan al-Askari, dan mengumumkan kemahdian dari Muhammad bin Ali
al-Hadi yang ternyata meninggal ketika ayahnya masih hidup, dan mereka menolak
untuk mengakui kenyataan tersebut, dan bersikeras dengan mengatakan bahwa ia
pergi bersembunyi (ghoybah) dan hidupnya akan berlanjut hingga hari yang tepat
untuk munculnya Mahdi. Hal ini benar-benar mirip dengan sub sekte Isma’iliyyah
yang menolak untuk mengakui wafatnya Ismail bin Ja’far al-Shadiq dan
menafsirkan jalannya proses penguburan yang dilakukan oleh Imam Sadiq sebagai
drama di depan publik.
Para
ulama terdahulu dari sekte syiah 12 Imam seperti Mufid, Murtadha dan Tusi telah
menolak pendekatan yang dilakukan oleh Batiniyyin sebagaimana yang dilakukan
oleh kelompok Syiah sebelumnya yang menolak untuk mengakui wafatnya Imam Ali
atau anaknya (Muhammad bin Hanafiyyah) atau anaknya (Abu Hasyim) atau wafatnya
Imam Sadiq atau anaknya (Ismail) atau wafatnya Imam Musa al-Kadhim, atau
wafatnya al-Askari, atau saudaranya (Mohammad), dengan alasan yang sederhana
karena logika batiniyyah mereka melanggar realitas, yang dianggap sebagai bukti
oleh orang-orang. Walaupun orang yang mengklaim adanya Imam Muhammad bin Hasan
al-Askari sendiri, pada kenyataannya mengikuti logika al-batiniyyin. Karena,
mereka tidak mengakui bahwa Imam al-Askari tidak pernah menyebutkan tentang
lahirnya Muhammad dan tidak mengakui adanya wasiat yang diberikan kepada ibunya
ketika dia meninggal dan menafsirkan kejadian ini sebagai bentuk kekhawatiran
terhadap musuh dan taqiyyah. Tanpa mempedulikan apakah klaim ini benar atau
tidak dan tanpa memperhatikan kondisi obyektif pada zaman sekitar wafatnya Imam
al-Askari, pernyataan bahwa ia mempunyai seorang anak secara rahasia itu
sendiri adalah merupakan bentuk klaim al-batiniyyin yang berlawanan dengan
realitas yang sebenarnya.
Al-Nushoyriyyah
(atau Al-Numayriyyah)
Kami
juga telah melihat bahwa sebagian besar dari ahadits yang membicarakan tentang
kelahiran Mahdi dan bahwa ia pernah terlihat pada saat ayahnya masih hidup,
adalah sebagai hasil keterlibatan ektremis ghullat, demikian juga tentang
adanya pengetahuan pada sesuatu yang ghoib pada Imam dan sebagainya, juga
merupakan bagian dari ide ghullat yang lain yang dipegang oleh sekte ghullat.
Perlu sejenak untuk memperhatikan sub sekte ghullat yang lain yang dikenal
sebagai al-Nushoyriyyah atau al-Numayriyyah yang ditegakkan untuk menghormati
Imam Ali bin Muhammad al-Hadi, di tangan Muhammad bin Nusair al-Nushoiri (atau
Numairi) yang merupakan salah seorang pemimpin Syi’ah di Basra. Orang ini
mengangkat derajat Imam Hadi hingga status keilahian, dan mengklaim untuk
dirinya sendiri pangkat kenabian dan kerasulan dari Imam Hadi, dan ia
berkhotbah (atau percaya pada) reinkarnasi. (13)
Setelah
wafatnya Imam Hadi, ekstrimis Nushoyri ini mengabdikan dirinya kepada anak
Imam Hadi (Imam Hasan al-Askari). Dan setelah Imam al-Askari wafat ia
adalah salah seorang yang paling bersemangat dalam mengkampanyekan adanya
(lahirnya) secara rahasia anak Imam Askari yang bernama Muhammad bin Hasan al-Askari.
Ia tentu saja mengklaim bahwa ia adalah pintu untuk berhubungan dengan Imam
yang bersembunyi Muhammad bin Hasan al-Askari dan sebagai wakil khususnya. Di
kemudian hari ia mengklaim kenabian yang ia sampaikan kepada sejumlah
pengikutnya. (14)
Al-Mukhammisah
(yang lima)
Selain
Nushoyriyyah, pada zaman itu terdapat ghullat yang berdiri sendiri dan ghullat
yang ada di antara Syiah Imamiah, yang merupakan pecahan dari al-Nushoyriyyah.
Sub sekte ghullat ini dikenal seabagi al-Mukhammisah yang menurut Sa’ad bin
Abdullah Al-Ash`ari al-Qumi dalam al-Maqalat wa al-Firaq, mereka percaya bahwa:
“Muhammad adalah Allah yang Maha Kuasa yang menyatakan dirinya dalam 5 bentuk
yang berbeda. Ia nampak dalam wujud Muhammad, Ali, Fatimah, Hassan dan Hussein.
Empat dari lima bentuk ini, katanya, adalah bayangan dan tidak benar-benar
nyata, sedangkan bentuk yang kelima adalah Muhammad yang merupakan esensi dan
nyata. Ia adalah orang pertama yang akan muncul dan yang pertama yang akan
berbicara. Ia akan tetap eksis dalam setiap pribadi di antara ciptaannya, mampu
berubah bentuk sesuai keinginanya, baik berwujud lelaki ataupun wanita, sebagai
orang tua atau orang dewasa atau anak-anak. Kadang-kadang muncul sebagai ayah
dan kadang-kadang sebagai anak dan ia tidak beranak atau diperanakkan. Ia
berinkarnasi pada seorang suami atau seorang istri, tetapi ia hanya muncul di
dalam diri manusia sedemikian rupa sehingga ciptaannya akan menemukan
penghiburan padanya dan tidak akan mampu dibedakan dengan Tuhan mereka. (Note:
bisa jadi penempatan posisi Ali, Fatimah, Hasan dan Husein di atas manusia
rata-rata diilhami atau berasal dari paham di atas).
Sekte
ini juga mengatakan bahwa Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa tidak lain adalah
Muhammad yang hadir di Arab maupun non Arab. Dan dia menunjukkan dirinya pada
ciptaannya di setiap zaman dan waktu, dan menjadikan dirinya terlihat dengan
cahayanya. Ia memanggil mereka untuk mengakui ketunggalannya dan mereka yang
menentangnya maka ia akan menjadikan dirinya nampak bagi mereka melalui pintu
kenabian tetapi mereka gagal untuk memenuhinya. Ia kemudian muncul pada
mereka melalui pintu Imamah, dan mereka menerima panggilannya. Sehingga secara
nampak dari luar Ia adalah Imam dan secara internal ia adalah Tuhan yang
esensinya adalah Muhammad yang disadari oleh sedikit orang yang dipilih oleh
Muhammad dan cahaya yang diberikan kepada mereka. Dan mereka yang tidak
termasuk orang-orang elite berderajat adalah manusia yang terbuat dari darah
dan daging. Itulah Imam…(Note: bisa jadi ajaran tentang nur Muhammad diilhami
atau merupakan varian dari di atas).
Sekte
ini berkata: “Semua tokoh Syiah zaman dahulu seperti Abu Al-Khattab, Bayan,
Sa’id, Mughirah, Hamzah, Bazi’, Sirri dan Mohamad bin Bashir adalah para Nabi
dari Pintu-pintu melalui perubahan badan dan perubahan nama, dan yang mereka
maksudkan sebagai sesuatu yang sama adalah Salman, dimana dia merupakan Pintu,
Rosul, tetapi yang dimaksudkan adalah satu dan sama, yang nampak bersama-sama
dengan Mohammad dalam setiap bentuk penampakan. Ia adalah Rasul Muhammad yang
melekat pada dia, dan Muhammad adalah Tuhan” (15)
Ash’ari
Al-Qumi menyatakan bahwa Nusayriyyah telah dilaknat oleh Allah karena mereka
meski menyatakan diri sebagai Syiah namun dalam hatinya Majusi, mereka
mengklaim bahwa Salman (semoga Allah merahmati dia) adalah Tuhan, dan bahwa
Muhammad menyeru orang-orang kepadanya, dan Salman selalu menunjukkan dirinya
kepada pemeluk semua agama. Jadi dalam segala hal mereka menganut paham Majusi
(penyembah api). (16)
Syiah
Karkh pada zaman itu merupakan sub sekte al-Mukhammisah (yang percaya pada
reinkarnasi Tuhan kepada yang lima). Menurut Syaikh al-Tusi dalam al-Ghaybah:
tidak ada keraguan tentang ini. (17)
Otoritas
tertinggi (Syeikh) komunitas Syiah di Karkh pada zaman itu, yaitu: Ahmad bin
Hilal Al-Ibrata’i, adalah tokoh ghullat terbesar. Al-Hussein bin Ruh Nukhbati
(pengklaim wakil Mahdi ke-3) telah menyampaikan sebuah laporan yang mengutuk
secara serius dan menolak mereka yang tidak mengutuk dia. Al-Ibrata’i adalah
otak utama dibalik proses penciptaan doktrin bahwa Imam Hasan al-Askari
mempunyai seorang anak secara rahasia. Namun Al-Ibrata’i adalah ajudan terdekat
Usman bin Said al-Umari (wakil Mahdi ke-1) yang telah banyak mendukung dia
dalam hal pengakuannya sebagai wakil Mahdi. Ia kemudian berselisih dengan
anaknya – Muhammad (wakil Mahdi ke-2) dan kemudian dia sendiri (Al-Ibrata’i)
mengklaim sebagai wakil Mahdi. (Note: Dari informasi ini dapat dilihat dengan
jelas adanya kaitan yang erat antara doktrin Syiah 12 Imam dengan doktrin
ghulat, yaitu melalui wakil Mahdi ke-1 yang ternyata ia berhubungan dekat
dengan tokoh besar ghulat al-Ibrata’i).
Al-Mufawwidah
(yang mendelegasikan)
Pada
zaman itu terdapat sekte ghulat lainnya di kalangan masyarakat Syiah yang
dikenal sebagai al-Mufawwadah, yang merupakan pecahan dari sub sekte ghullat
al-Numayriyyah dan al-Mukhammisah. Diantara keyakinan pokok sub sekte
al-Mufawwadah adalah bahwa “Allah menunjuk seorang yang sempurna, tidak lebih
dan tidak kurang, Ia menugasi dia berjalannya semua urusan dan ciptaan. Orang
ini adalah Muhammad, Ali dan Fatima, Hassan dan Hussein dan imam-imam lainnya,
dan mereka ini esensinya sebenarnya satu, walaupun mempunyai banyak nama. Orang
yang sempurna ini, yaitu Muhammad, menurut mereka – adalah orang yang
menciptakan langit dan bumi, gunung-gunung, manusia dan jin dan keseluruhan
alam dengan segala isinya. (18)
Setelah
wafatnya Imam Hasan al-Askari, penganut sekte ini telah memaksakan diri
menciptakan mitos bahwa Imam mempunyai anak secara rahasia, yaitu dalam rangka
melestarikan doktrin satu-satunya yang sempurna (al-Wahid al-Kamil) dimana dia,
menurut mereka, harus mengendalikan alam semesta, menciptakan dan menyediakan
kebutuhan hidup (makhluqnya).
Namun
demikian sub sekte Syi’ah sisanya tidak percaya pada ide-ide (hasil
khayalan-khayalan) ghuluw mereka. Tentu saja telah terjadi semacam konflik dan
perselisihan di antara kedua kelompok berbeda ini dan mereka meminta
penyelesaian kepada Mohammed bin Othman al-Umari dalam kapasitasnya sebagai
wakil I dari Tuan zaman (Sahib al-Zaman) pada zaman itu dan memintanya untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut, dan terhadap permintaan itu ia
mengeluarkan kepada mereka sebuah deklarasi yang berisi penolakan terhadap
doktrin “pendelegasian dari satu-satunya yang sempurna”, dan menegaskan adanya
keterlibatan para Imam dengan meminta kepada Allah untuk menciptakan maka Dia
menciptakan atau menyediakan rizqi maka Dia memberikan rizqi. (19)
Jawaban
al-Umari kepada mereka tersebut pada kenyataannya adalah bentuk yang lebih
ringan dari doktrin pendelegasian (al-Mufawwidah), sesuatu yang mengindikasikan
adanya hubungan dia dengan doktrin tersebut dan hubungan antara kepercayaan
akan adanya Muhammad bin Hasan al-Askari dengan sub sekte ghulat tersebut.
Hal ini ditegaskan oleh Al-Hussein bin Ruh Nukhbati dalam tanggapannya tentang perbedaan paham antara Syi’ah pada pada zaman itu perihal pertanyaan tentang doktrin pendelegasian (doktrin satu-satunya yang sempurna), dan perjalanan dia menemui Abu Tahir Ibn Bilal (salah seorang pendukung doktrin Kemahdian) untuk mendiskusikan topic tersebut, dan ia mengeluarkan hadits dari Abu Abdullah (AS) yang mana ia mengatakan bahwa: “Sesungguhnya Allah jika menghendaki suatu urusan, maka Dia akan menghadirkannya kepada Rasulullah, kemudian kepada Amirul Mukminin, kemudian kepada imam-imam yang lain, satu demi satu….hingga hal itu mencapai kepada Tuan dari zaman (Sahib al-Zaman) dan kemudian urusan itu hadir ke dunia. Dan, jika para malaikat ingin mengangkat suatu urusan kepada Allah Yang Maha Kuasa adalah melalui mereka, urusan itu akan dihadirkan kepada Tuan zaman (Sahib al-Zaman) dan kemudian akan dihadirkan kepada para imam satu demi satu hingga sampai kepada Rasulullah, kemudian urusan itu akan dihadirkan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Jadi, apapun yang turun dari Allah, adalah melalui tangan mereka, dan apapun yang naik kepada Allah adalah melalui tangan mereka, dan semua itu tidak pernah lepas bagi Allah SWT meski hanya sekejap mata. (20)
Hal ini ditegaskan oleh Al-Hussein bin Ruh Nukhbati dalam tanggapannya tentang perbedaan paham antara Syi’ah pada pada zaman itu perihal pertanyaan tentang doktrin pendelegasian (doktrin satu-satunya yang sempurna), dan perjalanan dia menemui Abu Tahir Ibn Bilal (salah seorang pendukung doktrin Kemahdian) untuk mendiskusikan topic tersebut, dan ia mengeluarkan hadits dari Abu Abdullah (AS) yang mana ia mengatakan bahwa: “Sesungguhnya Allah jika menghendaki suatu urusan, maka Dia akan menghadirkannya kepada Rasulullah, kemudian kepada Amirul Mukminin, kemudian kepada imam-imam yang lain, satu demi satu….hingga hal itu mencapai kepada Tuan dari zaman (Sahib al-Zaman) dan kemudian urusan itu hadir ke dunia. Dan, jika para malaikat ingin mengangkat suatu urusan kepada Allah Yang Maha Kuasa adalah melalui mereka, urusan itu akan dihadirkan kepada Tuan zaman (Sahib al-Zaman) dan kemudian akan dihadirkan kepada para imam satu demi satu hingga sampai kepada Rasulullah, kemudian urusan itu akan dihadirkan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Jadi, apapun yang turun dari Allah, adalah melalui tangan mereka, dan apapun yang naik kepada Allah adalah melalui tangan mereka, dan semua itu tidak pernah lepas bagi Allah SWT meski hanya sekejap mata. (20)
Hal
ini menunjukkan adanya keterlibatan para imam (karena harus melalui mereka)
ketika Allah menjalankan semua urusan di alam semesta, yang merupakan bentuk
lain dari sub doktrin pendelegasian.
Muhammad
ibn al-Hasan al-Saffar al-Qumi, penulis buku Basa’ir al-Darajat – yang hidup
pada zaman kebingungan (Ashr al-Hayra) dan merupakan salah seorang tokoh
doktrin Kemahdian dari Syiah Dua Belas Imam, meyakini beberapa jenis
pendelegasian para imam dalam perundang-undangan dan pengaturan kehidupan. Ia
berkata: “Saya menemukan dalam sebuah buku kuno diantara “Nawadir” dari
Muhammad bin Sinan yang mengatakan bahwa: “Abu Abdallah berkata: ‘Demi Allah,
Allah tidak pernah mendelegasikan otoritas-Nya kepada salah satu ciptaan-Nya,
selain kepada Rasulullah dan para Imam’. Maka ia berkata: ‘Sungguh, Kami telah
menurunkan kepadamu (Muhammad) sebuah Kitab (Quran ini) dalam kebenaran, agar
kamu memutuskan perkara di antara manusia dengan apa yang Allah perlihatkan
kepadamu (yaitu: yang diberikan kepadamu melalui wahyu ilahiah), dan janganlah
kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat Al-Nisa’:105. Hal ini hanya bisa diterapkan kepada
para pemegang perjanjian” (21)
Sangat
jelas bahwa teori ini berisi paham ghulat dengan tingkat tertentu, yang tidak
mencapai derajat pendelegasian dalam penciptaan dan penyediaan rizqi dan
pengelolaan urusan alam semesta. Al-Saffar menganut paham ghulat mengenai para
imam, yang bisa dibuktikan melalui bukunya (Basa’ir al-Darajat) yang penuh
dengan paham-pahan yang ditolak oleh Syiah hari ini.
Beberapa
orang Syi’ah dari Nisyapur adalah ghulat tingkat tinggi karena meyakini tentang
pengangkatan (al-Irtifa’) dan pendelegasian (al-Tawfid) berkaitan dengan para
Imam. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kashi dalam biografi al-Fadl bin Syadhan.
Secara
umum, paham dan berbagai madrasah doktrin ghulat telah tersebar di antara
masyarakat Syi’ah pada pertengahan abad ketiga Hijriah, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Sayyid Hibat al-Din Al-Shahristani, dalam kata pengantarnya
pada buku Syaikh Mufid (Awa’il al-Maqalat). (22)
Orang-orang
seperti Ja’far bin Muhammad bin Maalik Fazari, Adam al-Balkhi, Ahmed al-Razi
dan Al-Hussein Bin Hamdan Al-Khussaiby telah memainkan peran utama dalam penyebaran
doktrin keberadaan Imam Mahdi, dan menciptakan ahadits palsu tentang
kelahirannya dan pertemuannya dengan Mahdi. Mereka ini bagian dari ghulat
tingkat tinggi dimana semua otoritas Syi’ah kontemporer telah menolak ahadits
mereka.
Referensi:
- Mukhbati: Firaq al-Syi’ah hal. 22 dan Al-Ashari al-Qumi: al-Maqalat wa al-Firaq hal. 20.
- Firaq al-Syi’ah hal. 27 dan al-Maqalat hal. 27.
- Firaq al-Syi’ah hal. 28 dan al-Maqalat hal. 33.
- Firaq al-Syi’ah hal. 29, 31, 34 dan al-Maqalat hal. 34 – 37.
- Firaq al-Syi’ah hal. 35 dan al-Maqalat hal. 44.
- Firaq al-Syi’ah hal. 63 dan al-Maqalat hal. 77.
- Firaq al-Syi’ah hal. 68-69 dan al-Maqalat hal. 81.
- Al-Maqalat hal. 88.
- Firaq al-Syi’ah hal. 80 dan al-Maqalat hal. 90.
- Firaq al-Syi’ah hal. 83-84 dan al-Maqalat hal. 91.
- Ibid.
- Al-Maqalat hal. 51.
- Al-Maqalat hal. 101 dan Al-Hilli: Al-Khulasah al-Fa’idah al-Sadisah hal. 273.
- Al-Khulasah hal. 273, Tarikh al-A’immah (oleh Sheikh al-Aqdam ibn Abi al-Thalj Baghdad) hal. 20, al-Ghoybah (oleh Tusi) hal. 244, al-Maqalat hal. 101 dan Bihar al-Anwar (oleh al-Majlisi) vol. 51 hal. 367.
- Al-Maqalat hal. 58.
- Ibid. hal. 62.
- Ibid. hal. 256.
- Ibid. hal. 61.
- Al-Ghoybah (oleh Tusi) hal. 178.
- Ibid. hal. 238.
- Basha’ir al-Darajat (oleh al-Saffar) hal. 386.
- Ibid. hal. 173.
Meski
kurangnya justifikasi yang nyata tentang doktrin okultasi, para pendukungnya
menjelaskannya dengan cara mengungkapkan tentang upaya otoritas Abbasiyah yang
menyelidiki dan mencari Imam Mahdi untuk menahannya. Namun, pada saat yang sama
mereka menyampaikan bahwa Imam Mahdi bersembunyi di rumah ayahnya di pusat kota
kekhalifahan Abbasiah (Samirra’i) untuk waktu yang lama, yang mana hal ini
bertentangan dengan filsafat kebijaksanaan di balik ghoibah (kalau memang
benar-benar terjadi), yaitu kekhawatiran dan berpura-pura (taqiyyah). Karena,
jika keberadaan mahdi memang nyata, maka dia seharusnya pindah pergi menjauh
dari cengkraman kekuasaan Abbasiah dan bersembunyi di daerah terpencil di
negeri tersebut.
Karena
doktrin okultasi (ghoybah), khususnya yang terlalu lama, bertentangan dengan
filosofi Imamah, yang pada awalnya diyakini sekitar enam hari atau enam bulan
atau enam tahun, maka setelah itu mereka mengubahnya menjadi menjadi tiga puluh
tahun atau empat puluh tahun atau seratus dua puluh tahun, menurut berbagai
hadits yang dikutip oleh al-Tusi dalam Al-Ghoybah hal. 76-78.
Periode
okultasi tidak pernah bisa dibayangkan melebihi jangka waktu kehidupan manusia
normal. Itulah mengapa Syekh Saduq (dalam Ikmal al-Din) telah menolak klaim
Al-Waqifiyyah yang mengatakan terjadinya ghoybah Imam Musa al-Kadhim, karena
pada abad keempat AH masa hidup Imam Musa telah melebihi kehidupan alamiah
manusia normal, yaitu usia beliau pada saat itu (jika hidup dalam
persembunyiannya) telah mencapai sekitar 200 (dua ratus) tahun.
Bagaimanapun,
hadits-hadits yang berbicara tentang tanda-tanda kemunculannya, merupakan bukti
lebih lanjut untuk menilai sejauh mana validitas dari doktrin kemahdian Imam
Muhammad bin Hasan al-Askari), karena pada zaman itu mereka menyebutkan
bahwa Mahdi akan muncul setelah jatuhnya dinasti Umayyah, dan membalas
dendam kekejaman Bani Umayyah. Mereka juga menyebutkan bahwa Mahdi akan muncul
di era Abbasiyah, atau pada atau akhir dari era tersebut, karena adanya konflik
internal Abbasiah di antara mereka sendiri. Dan menurut hadits-hadits lain yang
disebutkan oleh al-Tusi dan Numani dan Kulayni, Mahdi akan muncul setelah
terbunuhnya Dhu al-Nafs al-Zakiyya (Muhammad bin Abdullah bin Hassan bin Ali
bin Abu Tholib).
Beberapa
hadits mengungkapkan bahwa Mahdi harus menaklukkan Konstantinopel, yang telah
lolos dari kendali umat Islam selama berabad-abad, dan akan menaklukkan Daylam,
Sindh dan India, Kabul dan Al-Khizr. Semua peristiwa penting ini telah terjadi
tetapi pada kenyataannya Mahdi yang dijanjikan itu tidak pernah muncul. Jadi,
semua ini menunjukkan dhaifnya ahadits tersebut atau berkaitan dengan lemahnya
kredibilitas orang yang melaporkan.
Beberapa
hadits juga melaporkan hal-hal yang aneh yang tidak akan mungkin terjadi hingga
hari kiamat atau setelah kehancurannya. Ahadits itu berisi tentang hilangnya
cahaya matahari dan terbitnya dari arah barat, lama sehari hingga 240 jam dan
bangkinya orang mati dari kuburan mereka, yang benar-benar tidak mungkin
terjadi pada saat munculnya Mahdi, yang mana hal itu mungkin terjadi pada hari
kiamat.
Beberapa
ahadits berbicara tentang keajaiban teknologi seperti berbicara dengan Al-Qo’im
(yang akan muncul) dan melihatnya dari jauh (layaknya perangkat siaran langsung
televisi melalui satelit) yang justru perangkat seperti ini telah terjadi pada
zaman ini dan sudah terlanjur tidak di tangan Qaim, yang mencegah kita untuk
menganggapnya sebagai mukjizat mukjizat (Mahdi).
Sementara
yang lain menyebutkan tentang kejadian di luar kejadian normal yang tidak
sesuai dengan hukum alam (sunnatullah), seperti lelaki yang melahirkan anak
bukannya wanita, setiap darinya melahirkan ribuan anak, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Mufid.
Patut
disebutkan bahwa semua ahadits berkaitan dengan hal ini adalah ahadits yang
sanadnya terputus atau ditrasmisikan oleh orang yang tidak dikenal, ghullat dan
para pemalsu hadits. Mereka juga tidak pernah menyebutkan identitas Mahdi
secara khusus, tetapi menyebutkannya secara umum. Hal ini memberikan kesan
bahwa ahadits tersebut mungkin telah dikembangkan atau diciptakan oleh gerakan
Mahdiism sebelumnya pada abad pertama Hijriah, yang oleh karena itu merupakan
bukti tambahan bahwa doktrin kemahdian telah berevolusi seiring dengan
berjalannya waktu, yang kemudian dipakai oleh para pendukung doktri kemahdian
dari Muhammad bin Hasan al-Askari dengan menerapkan/ menggunakan ahadits palsu
zaman dahulu ketika membicarakan Muhammad bin Hasan al-Askari.
Bagian
I : Rezim Abbasiyah
Abbasiyah
kedua berbeda dengan pendahulunya karena didominmasi oleh para bekas budak
Turki yang mengendalikan jalannya pemerintahan, dan pengaruh mereka dalam
penunjukan Khalifah pengganti dan menghilangkan peran/ kekuasaan bani
Abbasiyah, seperti Baqir, seorang Turki yang membunuh Mutawakkil (memerintah
232 – 246 H) sebagai akibat dari konflik internal dalam rumah kekuasaan, dan
karena adanya perbedaan antara pilar penguasa dan kekuatan bersenjata. (1)
Putra
dari Mutawakil – Muhammad Muntasir – mewarisi ayahnya menduduki tahta kekhalifahan,
sementara umurnya baru 25 tahun, tetapi dia hanya memerintah tidak lebih dari
dari enam bulan sampai dia meninggal. (2)
Dua
pemimpin Turki “Wasif” dan “Bagha” membunuh Baqir, si pembunuh Mutawakkil, dan
setelah meninggalnya Muntasir mengangkat Musta’in sebagai khalifah (3). Mereka
juga mengendalikan kekhalifahan Musta’in (memerintah 247 – 251 H), yang tidak
mempunyai kekuasaan apapun kecuali hanya disebut sebagai khalifah, sampai pada
tingkat di mana sebuah puisi mengatakan: “Khalifah dalam kandang antara Wasif
dan Bagha, dia mengatakan apa yang mereka katakan kepadanya, seperti burung
beo”
Musta’in
bergerak ke Baghdad setelah dia menangkap Mu’tazz dan Muayyad. Para bekas budak
Turki membebaskan Mu’tazz dan memberikan janji setia (bai’ah) kepada dia dan
tunduk pada Kekhalifahannya, dan pada saat yang sama memerangi Musta’in dan
pendukungnya Wasif dan Bagha di Baghdad. Mereka memberikan bai’ah pada 11
Muharram 251 AH. Mu’tazz mengajak saudaranya Ahmad dan sejumlah bekas budak
untuk memerangi Musta’in di Baghdad. Ketika Muhammad bin Abdullah bin Tahir
mengetahui itu, ia menulisa surat kepada Mu’tazz bahwa ia berpihak kepadanya
dan condong untuk menghilangkan kekuasaan Musta’in. Musta’in turun tahta atas
kemauannya sendiri pada hari Kamis, 3 Muharram 252 H dan memindahkan
kekhalifahannya kepada Mu’tazz (5). Mu’tazz mendapatkan bai’ah dari masyarakat.
Nama lengkap Mu’taz adalah al-Zubayr ibn Ja’far al-Mutawakkil, waktu itu ia
baru berumur 18 tahun. Ia mengangkat Muayyad sebagai pangeran mahkota. Tetapi
segera setelah itu ia menahannya karena mendapat informasi bahwa Muayyad telah
bersekongkol melawannya. Ia kemudian menghapus Muayyad dari statusnya sebagai
putra mahkota (6).
Mu’tazz
(memerintah 252 – 255 H) membunuh Wasif dan Bagha dan condong kepada masyarakat
Maghribi dan Farghan. Masyarakat Turki menyimpan kebencian kepadanya karena
telah membunuhan pemimpin mereka. Mereka melakukan revolusi dan memaksa dia
untuk mengundurkan diri pada akhir bulan Rajab 255 AH, setelah memerintah
selama hampir empat tahun enam bulan. Muhammad bin Wathiq mencoba melakukan
mediasi antara dia dan orang-orang Turki, dan Mu’tazz berkata kepadanya seraya
berputus asa: “Suatu urusan yang saya tidak tahan atau melakukannya atau saya
tidak cocok untuk itu”. Muhtadi juga mencoba melakukan mediasi dan Mu’tazz
berkata kepadanya: “Saya tidak membutuhkan itu dan mereka tidak menerima saya
untuk itu”. Ia telah dibunuh di penjara, setelah enam hari pengunduran dirinya.
(7)
Setelah
pengunduran diri Mu’tazz, orang-orang Turki meletakkan Al-Muhtadi (Muhammad bin
Harun) pada tahta kekhalifahan. Pada saat itu ia berumur 37 tahun dan
memerintah sekitar satu tahun sejak 29 Rajab 255 AH hingga 16 Rajab 256, pada
saat orang-orang Turki membunuhnya.
Musa
bin Bagha al-Kabir tidak ada ketika Mu’tazz dibunuh, sementara Salih bin Wasif
melakukan hubungan rahasia dengan Muhtadi, Musa bergegas pulang dan memasuki
‘Surr man Ra’a’, tanpa seizin Khalifah Muhtadi dan membunuh Saleh bin Wasif.
(8)
Sekitar
zaman itu, ‘Musawir al-Shari’ memberontak dan datang bersama pasukannya sangat
dekat dengan ‘Samirra’i’ dan membawa banyak melapetaka kepada orang-orang.
Sabilah dibantai dan perkampungan Arab muncul. Muhtadi mengirim Musa bin Bagha
dan Baykal untuk memerangi Al-Shari. Namun demikian, mereka kembali dan memerangi
Khalifah Muhtadi. Perang besar diantara mereka telah menewaskan banyak orang.
Baikal menjadi lemah dan Muhtadi bisa mengatasi dia dan membunuh dia. Jebakan
yang dibuat oleh Baikal untuk melawan Muhtadi muncul ke permukaan, Fauly dan
para sahabatnya memasuki Samarra, mencari pertolongan kepada orang-orang,
berteriak minta bantuan di pasar-pasar, tetapi tidak ada yang siap memberikan
bantuan. Setelah berputus asa dari kemenangan ia pergi ke rumah Ibnu Khai’unah
dan berusaha bersembunyi di sana. Mereka menyerangnya dan membawanya keluar dan
menikamnya hingga mati. Itu terjadi pada tanggal 16 Rajab 256 AH. (9)
Setelah
kegagalan itu, bay’ah diberikan kepada Mu’tamid – Ahmad bin Ja’far
al-Mutawakkil, yang berumur 25 tahun, dan ia memerintah selama 23 tahun hingga
wafatnya pada thun 279 AH. Ia adalah orang yang lemah dan menyukai kenikmatan.
Ia cenderung pada minuman keras dan mencintai permainan dan lawakan.. Mu’tamid
telah memberi bay’ah kepada anaknya, Ja’far yang dijuluki Mufawwid Ilallah,
tetapi saudaranya, Abu Ahmed Muwaffaq mendominasi semua urusan dan administrasi
Negara, dan ia memerintahkan untuk menahan saudaranya, Mu’tamid. Ia adalah
Khalifa pertama yang dikalahkan, dipenjarakan dan direbut kekuasaannya. Ketika
Muwaffaq meninggal, anaknya Mu’tadid mengambil kendali semua urusan masyarakat
dan menghapus Ja’far dari statusnya sebagai putra mahkota pada tahun 278 AH.
Pada pagi hari 19 Rajab 279 AH Mu’tamid tidak sarapan, ia kemudian makan siang
yang mengandung racun dan dia meninggal. Ismail bin Hammad Al-Qodi pergi
mengunjungi Mu’tadid sambil memakai pakaian hitam dan mengucapan selamat
sebagai Khalifah. (10).
Imam
Hasan al-Askari meninggal di era pemerintahan Mu’tamid pada tahun 260 AH.
Asumsi terjadinya Okultasi Mahdi secara membingungkan dilaporkan terjadi ketika
Khalifah Mu’tamid berusia sekitar 30 (tiga puluh) tahun.
Mu’tadid
meninggal pada 22 Rabi al-Tsani 289 AH. Anaknya Ali Muktafi Billahi
menggantikan dia, dan mendapatkan bay’ah dari orang-orang ketika ia beusia 25
tahun. Sehingga ia masih sebagai seorang pemuda yang lemah. Qosim bin
Ubaidullah dan budaknya Fatik mengendalikan dia. Setelah meninggalnya Qasim,
Wazir (perdana menteri) dari Mustakifi, Abbas bin al-Hasan dan Fatik
mengendalikan pemerintahan. (11).
Setelah
itu kekhalifahan Abbasiyah menderita serangkaian konflik internal kekuasaan
yang disertai kekerasan berdarah, di antara mereka sendiri pada satu sisi,
dengan para bekas budak mereka dan orang-orang Turki pada sisi lain. Muqtadir
dibunuh pada tahun 320 AH dalam sebuah insiden antara dirinya dengan budaknya
Mu’nis di Baghdad. Qohir Billah mendapatkan bay’ah setelah dia, dan telah
kehilangan kekuasaan setelah kurang dari dua tahun. Matanya telah dicungkil
pada tanggal 10-5-322 AH. Radhi Billah menjabat Khalifah setelah itu dan
memerintah sekitar lima tahun dan meninggal pada tanggal 10-3-329, namun
periode pemerintahanya telah benar-benar dikendalikan para bekas budak, Bajkam
dan orang-orang Turki, yang mencetak dinar dan dirham dengan menampilkan gambar
mereka. Mereka membuat senjata dengan penulisan kalimat padanya, ’Ketahuilah
bahwa martabat adalah bagi Raja yang mulia, pemimpin orang-orang Bajkam“ (12).
Setelah
dia Muttaqi Billah mendapatkan bay’ah sebagai khalifah pada tanggal 1-3-329 AH.
Ia menjadi Khalifah sekitar 4 (empat tahun). Ia disingkirkan dan matanya
dicungkil pada tanggal 3-4-333 AH, karena ia bekerjasama Hamdanyah dan
menguasai mereka. Hal itu membuat marah orang-orang Turki dan pemimpin mereka
“Tozoun“ menguasai Baghdad pada tahun 332 AH. Mereka berbuat makar melawan Muttaqi
dan menyingkirkan kekuasaannya. Mereka menghadap Abdullah bin Ali Mustakfi
untuk berjanji setia (membay’ah) kepadanya pada tanggal 3-2-333 AH. Namun,
bagaimanapun setelah satu tahun, ia disingkirkan dari kekuasaannya dan matanya
dicungkil oleh tangan Ahmed bin Buwaih ’Dailami’, yang menuduh dia menulis
surat kepada Banu Hamdan dan memberikan informasi rahasia tentang mereka. Muti’
menjadi penguasa setelah dia pada tanggal 23 Shaban 334 AH.
Bagian
II: Situasi Oposisi
Sebagaimana
yang kita lihat pada uraian di atas, salah satu yang nampak paling menonjol
dari pemerintahan Abbasiyah kedua adalah disintegrasi dan dekadensi moral. Hal
ini terjadi karena lemahnya kekhalifahan dan tidak benar-benar memegang tampuk
kekuasaan secara kokoh.. Kondisi ini mendorong setiap gubernur dari sejumlah
besar bagian Negara Islam yang semestinya terikat dan tunduk secara sepenuhnya
dengan pusat Negara, tidak lagi mengikatkan diri dengan pusat. Jika ia mau, ia
akan tetap loyal, jika ia mau ia bisa memisahkan diri dan mengalami konflik
dengan lainnya yang mendorong timbulnya berbagai peperangan yang terjadi antara
pemerintahan pusat dengan para gubernur.
Salah
satu yang paling jelas dari kejadian ini adalah Andalusia (Muslim Spanyol),
yang memisahkan diri dengan sendirinya dan menjadi merdeka pada saat itu di
bawah pemerintahan bani Umayyah Abdul Rahman Nasser, dan Afrika Utara yang
memisahkan diri sebagian besar wilayahnya di bawah kepemimpinan keluarga
Al-Aghlab. Dua bagian negara Persia dan Irak, adalah darerah yang subur bagi tentara
Ya’kub bin Laith al-Saffar, dan peperangan terjadi pada tahun 253 AH hingga
kematiannya pada tahun 265 AH. Ia digantikan oleh saudaranya, Amir bin Amr
al-Laits. Dan pada tahun 261 AH sebagian besar daerah `Ma wara al-Nahr’
memisahkan diri di bawah kepemimpinan Nasr bin Ahmad Samani hingga ia meninggal
pada tahun 270 AH. Daerah pinggiran yang lebih dekat dekat dengan ibukota (`Sur
Man Ra’a’) tidak lebih baik kondisinya dari daerah yang lebih jauh.. Terdapat
berbagai kepentingan yang berbeda dari para pekerja dan para pejabat di sisi
lain, dan aktivitas kepentingan Kharijiah dan para budak (hitam) dan juga
Al-Qaramitah di sisi lain.
Khalifah
Mu’tadid yang menyukai kesenangan nafsu dan hiburan, minuman beralkohol, dan
benar-benar lemah hingga pada tingkat tidak ada lagi kekhalifahan pada dirinya
kecuali hanya gelar, yang pada kenyataannya tidak mempunyai kekuasaan sama
sekali.
Periode
ini menyaksikan serangkaian pemberontakan bani Alawi dan Syiah dengan berbagai
kelompok yang berbeda, terlepas dari kenyataan bahwa beberapa khalifah
Abbasiyah mulai condong pada Syiah, atau bersimpati pada bani Alawi secara
sesungguhnya. Sistem pemerintahan retak dan terurai karena ada konflik internal
di dalam keluarga Abbasiyah itu sendiri.
Revolusi
bani Alawi pada zaman sebelum Okultasi.
Mas’oudi
mengatakan dalam Muruj al-Dhahab: “Pada tahun 250 AH, Hassan bin Zaid Alawi
muncul di Tabaristan. Ia memegang kendali atasnya, demikian juga Al-Jurjan
setelah suatu peperangan yang besar dan memerangi kejahatan. .. Dan tetap di tangannya
hingga ia meninggal pada tahun 270 AH. Saudaranya Muhammad bin Zaid
menggantikan dia hingga pada suatu ketika Rafi bin Harthamah memerangi dia.
Mohammed bin Zaid memasuki Daylam pada tahun 277 AH dan menjadi di bawah
kekuasaannya. Setelah itu Rafi bin Harthamah memberikan janji kesetiaan
kepadanya dan bergabung dengan barisannya, memenuhi panggilannya dan tunduk
kepadanya.
Al-Hasan
dan Muhammad menyeru orang-orang dengan slogan “Untuk mendapatkan ridho
keluarga Muhammad“, sebagaimana yang sudah muncul di Tabaristan setelah mereka,
dengan nama Hassan bin Ali al-Hassani yang dikenal sebagai `Al-Atrush’ dan
anaknya al-Hasan bin Al-Qasim. (13)
Pada
saat yang sama (tahun 250 AH) Muhammad bin Jaafar muncul di Rayy dan mengajak
orang-orang kepada Hassan bin Zaid, penguasa Tabaristan (14), sebagaimana juga
Al-Karki yang muncul di Qazwin, sebuah revolusi Alawi lainnya. Ia kemudian
bergabung dengan Hasan bin Zaid.
Alawi
yang lain muncul setelah dia di Rayy, adalah Ahmad bin Isa, yang mengajak
orang-orang dengan slogan “untuk mendapatkan ridho keluarga Muhammad”, dan ia
memegang kendali atas Rayy. Setelah hanya setahun kemudian muncul Husain bin
Mohammed Al-Alawi di Kufah, ia mengusir gubernur khalifah. Revolusi Alawi
lainnya setelah dia dilakukan oleh Ja’far bin Muhammad.
Pada
tahun 251 AH, Ali bin Abdullah Al-Thalibi yang juga dikenal sebagai
‘Al-Mar-ishi’, melakukan revolusi di kota ‘Amil’. Demikian juga Hussein bin
Ahmed Al-Arqit melakukan revolusi di Qazwin. Ia memegang kendali hingga athun
252 AH, dan ia juga menguasai Rayy.
Semua
itu terjadi karena keadaan yang memburuk pada zaman Khalifah Musta’in, yang
mengalami konflik internal dengan anggota keluarganya, dan pergi menyelinap ke
Baghdad. Para bekas budak melakukan revolusi kepadanya, memerangi dia dan memaksa
dia untuk turun tahta. Bay’ah kemudian diberikan kepada Mu’tazz (15) pada tahun
252 AH. Selama kekhalifahan Mu’tazz muda yang umurnya belum melebihi dua puluh
tahun, seorang Alawi, Ismail bin Yusuf, muncul melakukan revolusi di kota.
Setelah kematiannya, saudaranya Muhammad bin Yusuf menggantikannya. Ia kemudian
pergi ke ke Yamamah dan Bahrain, dan menguasainya. Ia menempatkan di sana
anaknya yang dikenal sebagai Banu Al-Akhdar (16).
Pada
masa Khalifah Muhtadi pada tahun 255 AH, penguasa Al- Zanj muncul di di Basra.
Pada
tahun 256 AH, seorang Alawi, Ibrahim bin Mohammad, yang dikenal sebagai Ibnu
Al-Sufi muncul di Mesir, demikian juga.
Demikian
juga Ali bin Zaid Al-Alwi memberontak di Kufah, dan memerangi Baak Bara, hingga
ia terbunuh pada tahun 257 AH.
Pada
tahun 257 AH gerakan Al-Qaramitah muncul di Bahrain dan memperluas pengaruh
mereka hingga ke Basrah, Irak dan Jazirah.
Di
Rayy revolusi Syiah yang lain meledak yang dipimpin oleh Ahmed bin Hassan
Al-Madrani yang mendominasi di era Mu’tadi pada tahun 275 AH. Ia menyebarkan
paham Syiah dan mendirikan sebuah pemerintahan Syiah. (17)
Revolusi
Isma’iliah di Yaman dan Afrika Utara
Sebelum
tahun 275 AH dan setelah beberapa tahun wafatnya Imam al-Askari, Al-Hussein Bin
Hushab pada tahun 266 AH di Yaman mampu menegakkan gerakan pertama Isma’ili
yang sukses. Ia mengumpulkan sejumlah besar orang-orang dari berbagai suku di
Yaman, menyebarkan kepada mereka panggilan kepada: “Mahdi Isma’iliah yang
tinggal bersembunyi di sebuah kota Silmiyyah di Suriah“. Ia membentuk negara
Isma’iliah yang pertama dalam sejarah.
Kemudian
Ibnu Hushab mengirim penyerunya Abu Abdullah al-Syi’i, yang telah mengundurkan
diri dari sekte yang percaya pada eksistensi Muhammad bin Hassan al-Askari
(sekte Syi’ah 12 Imam) dan bergabung dengan Isma’iliah. Ia bekerja sebagai
pegawai keuangan di Baghdad. Ia dikirim ke Afrika Utara untuk mengajak
orang-orang percaya pada Imam Isma’iliah (Ubaidullah Al-Mahdi) yang bersembunyi
(okultasi). Karena lemahnya cengkeraman pemerintahan Abbasiyah, Abu Abdullah
mampu mendapatkan dukungan dari suku Kitamah dan memegang kendali atas Maghrib,
dan menguasai pengaruh Banu Al-Aghlab dan menghilangkan pemerintahan mereka di
Qirawan di Tunisia, yang kemudian hari merupakan ibukota Afrika. Ia mendirikan
dinasti Fatimiyah yang setelah itu meluas hingga ke Mesir dan Suriah pada tahun
296 AH pada periode Khalifah Abbasiyah al-Muqtadir, yang dibay’ah pada umur 13
tahun. Imam Mahdi Ismailiyah melancarkan kegiatan oposisinya kepada negara
Abbasiyah dalam rangka meruntuhkan rezim Abbasiyah. Setelah keberhasilannya
dalam melakukan revolusi di Yaman di tangan penyerunya (Da’i) Ibnu Hushab, ia
mampu memicu revolusi di provinsi Wasit di Irak di tangan dari salah satu dari
pengikut sekte Ismaili: Hamdan Bin Qirmit, yang menginvasi selatan Irak dan
Jazirah Arab dan menyebar hingga ke Suriah.
Simpati
khalifah Abbasiyah kepada Alawi
Sebagai
hasil dari perkembangan di atas, kebijakan Mu’tadid (memerintah 278 – 289 H)
kepada Alawi lebih lunak dibanding kebijakan para khalifah Abbasiyah
pendahulunya, meskipun terjadi revolusi dari para penyeru (Da’i) di Tabaristan
dan deklarasi otonomi yang mereka lakukan.
Mas’oudi
mengatakan: Da’i tersebut mengirim sejumlah uang ke ibukota kekhalifahan yang
akan dibagikan kepada keluarga keturunan Abi Thalib yang ada di sana. Khalifah
Mu’tadid mengetahui hal ini, tetapi ia tidak mampu atau tidak atau tidak ingin
menghentingan hal itu. Ia justru mengirim utusan kepada orang yang diberi
tanggung jawab atas pembagian tersebut agar menemuinya, ia menyalahkan dia
karena berusaha menyembunyikan hal itu, dan memerintahkan dia untuk
melakukannya secara terbuka. Ia bahkan membawa keluarga Abi Thalib lebih dekat
kepadanya. Khalifah Mu’tadid menyatakan bahwa ia melihat Imam Ali dalam mimpi
sebelum ia menjadi khalifah dan berkata kepadanya: “Urusan ini akan datang
kepada kamu, jangan menentang anak cucu saya ataupun menyakiti mereka“. Ia
menjawab: “Saya mendengar dan mentaati“. (18)
Majlisi
melaporkan dalam `Bihar al-Anwar’ dari Muhammad ibn Jarir al-Tabari bahwa:
“Mu’tadid, yang menjadi khalifah setelah Mu’tamid, memutuskan untuk mengutuk
Mu’awiyah bin Abi Sufyan di mimbar-mimbar dan memerintahkan menulis sebuah buku
yang akan dibacakan di depan orang-orang (terkait dengan hal itu). (19)
Khalifah
Mu’tadid gagal dalam usahanya untuk menumpas gerakan perlawanan Al-Qarmitah. Ia
mengirimkan pasukan untuk menekan mereka namun kalah dan komandannya ditangkap.
Al-Qarmitah kadang-kadang bergerak ke Basra suatu waktu dan ke Baghdad pada
waktu yang lain dan juga ke Hijaz pada waktu yang lain. Pemimpin mereka, Abu
Abdullah Muhammad, sang pemilik unta betina (Shahib al-Naqah) yang dipanggil
sebagai `Khalifa’, menyebut dirinya `Amir al-mukminin’. Kemudian mereka
menyerang Syiria dan berkuasa di sana pada tahun 289 AH. Ancaman mereka terus
membahayakan wilayah tersebut sampai pada tingkat bahwa mereka bahkan merampok
dan menjarah Ka’bah dan mencuri Hajar Aswad dan menewaskan ribuan peziarah pada
tahun 317 AH. Mereka kemudian merampok dan menjarah Basrah dan menduduki Kufah.
Khalifah Mu’tadid dipaksa untuk mengadakan gencatan senjata dengan mereka atas
dasar bahwa ia harus memberi mereka 120.000 dinar setiap tahun.
Selama
masa pemerintahan Khalifah Muqtadir Billah (memerintah 295 – 319 H) yang masih
anak-anak, rezim Abbasiyah menjadi sangat lemah secara internal dan eksternal.
Kerajaan Romawi menduduki pantai Syiria dan kota Ladhiqiyyah pada tahun 298 AH.
Mohsen bin Jaafar bin Ali al-Hadi muncul di Damaskus pada tahun 300 AH, namun
kalah dan dibunuh setelah itu.
Sejak
saat itu, periode Abbasiyah menyaksikan dominasi Al-Buwaihiyyin (Syi’ah) di
kendali pemerintahan di pusat kota kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, dimana
mereka mengukuhkan diri dan mengisolasi khalifah. (20).
Jadi,
kondisi sekeliling pada zaman okultasi (al-ghoybah), sebelum dan sesudahnya,
sama sekali tidak memperlihatkan adanya alasan/ pembenaran untuk khawatir dan
melakukan sikap berpura-pura (taqiyyah), atau Imam Hasan al-Askari harus
merahasiakan kelahiran anaknya dan menyembunyikannya. Adalah tidak sulit bagi
Muhammad bin Hasan al-Askari (jika dia memang benar-benar ada), untuk
menampakkan dirinya di manapun. Bahkan jika ia mau, ia bisa menyatakan dirinya
sejak awal bahwa ia adalah Mahdi yang ditunggu. Tidak sulit baginya untuk
meminta tolong di daerah pinggiran negara Abbasiyah, bersembunyi di daerah
pegunungan dan hutan, dan melawan otoritas Abbasiyah yang pada saat itu sangat
lemah dan menegakkan negara yang dijanjikan, dan melakukan tanggung jawabnya memimpin
Syiah dan Muslim.
Telah
diketahui dengan baik bahwa penguasa Al-Buwayhiyyin (Syi’ah yang percaya
kepadanya) telah meminta Syekh Mufid agar Mahdi muncul menampakkan dirinya dan
memerintah, daripada diperintah oleh Khalifah Abbasiyah, sebagaimana Mahdi
Fatimiyah yang muncul dan memerintah di Afrika Utara, setelah dirahasikan dan
bersembunyi. Mufid tidak memberikan jawaban yang berguna terkait dengan ahadits
yang isinya tidak konsisten tentang perlunya taqiyyah dan kekhawatiran terhadap
kehidupan Imam Mahdi dari usaha pembunuhan.
Referensi:
1. Mas’udi: Muruj al-Dhahab, vol. 4 hal. 38.
2. Ibid., hal. 52.
3. Ibid., hal. 60.
4. Ibid., vol. 4 hal. 61.
5. Ibid., hal. 92.
6. Ibid., hal. 90.
7. Ibid., hal. 92.
8. Ibid., hal. 98.
9. Ibid., hal. 97 -100.
10. Ibid., hal. 141.
11. Ibid., hal. Vol. 4 hal. 187.
12. Ibid., hal. 245.
13. Ibid., hal. 68.
14. Ibid., hal. 69.
15. Ibid., hal. 68.
16. Ibid., hal. 91.
17. Yaqut: Mu’jam al-Buldan, tahun kejadian 275 AH.
18. Ibid., vol. 4 hal. 279.
19. Mas’udi: Muruj al-Dhahab, vol. 4 hal. 279.
20. Ibid.
1. Mas’udi: Muruj al-Dhahab, vol. 4 hal. 38.
2. Ibid., hal. 52.
3. Ibid., hal. 60.
4. Ibid., vol. 4 hal. 61.
5. Ibid., hal. 92.
6. Ibid., hal. 90.
7. Ibid., hal. 92.
8. Ibid., hal. 98.
9. Ibid., hal. 97 -100.
10. Ibid., hal. 141.
11. Ibid., hal. Vol. 4 hal. 187.
12. Ibid., hal. 245.
13. Ibid., hal. 68.
14. Ibid., hal. 69.
15. Ibid., hal. 68.
16. Ibid., hal. 91.
17. Yaqut: Mu’jam al-Buldan, tahun kejadian 275 AH.
18. Ibid., vol. 4 hal. 279.
19. Mas’udi: Muruj al-Dhahab, vol. 4 hal. 279.
20. Ibid.
Dalam
rangka memahami isu tentang Okultasi (ghoybah) secara benar, kita pertama kali
harus memahami teori Imamah, sebagaimana yang dipahami oleh Theolog Syi’ah
Imamiah zaman dahulu, yang menemukannya dan menjelaskannya. Teori Imamah
Ilahiyah menyatakan bahwa: “Tidak diperbolehkan dunia tanpa seorang Imam (yaitu,
sebuah Pemerintahan dan Negara). Imam (atau Presiden atau khalifah atau
pemimpin tertinggi), harus “tidak bersalah“ dan ditunjuk oleh Allah, dan bahwa
Syura dan pemilihan seorang pemimpin oleh ummah tidak sah. Teori/ doktrin Syi’ah
Musawiyah adalah mengenai berhentinya Imamah yang bertentangan dengan teori
Syi’ah Fath-hiyah yang menyatakan bahwa: Imamah harus berlanjut secara
turun-temurun melalui keturunan Ali dan Hussein secara vertikal hingga hari
kiamat.
Dari
sinilah Theolog Syi’ah Imamaiyah berasumsi adanya dan lahirnya seorang anak
dari Imam Hasan Askari, dengan mengabaikan tidakadanya bukti-bukti sejarah
mengenai hal itu.
Beberapa
dari mereka menolak untuk mempercayai Imamah dari Ja’far bin Ali al-Hadi,
karena “tidak diperbolehkannya adanya dua orang yang bersaudara sebagai Imam
setelah Hassan dan Hussein“. Mereka berkata: “Imam (Hujjah) anak dari Hassan
Askari harus telah dilahirkan, tetapi ayahnya telah menyembunyikannya dari mata
orang-orang“.
Beberapa
pertanyaan penting yang muncul dengan sendirinya adalah:
- jika Imamah dibatasi pada orang-orang ini, tidak diperbolehkan bagi orang biasa lainnya yang tidak tak bersalah dan tidak diangkat oleh Allah, lalu mengapa ia menghilang dan bersembunyi dan tidak muncul untuk memimpin Syiah dan Muslim dan mendirikan pemerintahan Islam, yang tidak bisa dihindarkan?
- Seberapa lama dunia ini tanpa seorang Imam, dan Imam yang bersembunyi tidak dapat melakukan tugasnya sebagai Imam dan pemimpin masyarakat, lalu apa rahasia di balik bersembunyi tersebut?
- Sampai berapa lama Imam bersembunyi?
- Lalu apa tugas Syi’ah selama Imam masih bersembunyi?
Secara
alami dan sewajarnya dari doktrin “ghoibah“ adalah menunggu dan pelarangan
setiap kegiatan politik pada periode Mahdi bersembunyi. Ini adalah teori yang
mendominasi pemikiran politik Syiah yang telah dianut selama berabad-abad, dan
beberapa dampaknya masih bertahan hingga hari ini, meskipun mereka menggunakan
doktrin baru perwakilan masyarakat dan wilayat al-faqih. Hasil akhir
dari idealisme para theolog ini menggiring Syi’ah kepada tidak adanya aktifitas
politik kemasyarakatan dan mereka kehilangan Imamah, karena tidak tampilnya
Imam yang makshum di dunia nyata. Keadaan ini sangat kontras dengan filosofi
yang mengatakan bahwa Imamah harus ada si atas bumi dan keharusan Imam tidak
berbuat salah dan perlunya Imam ditunjuk oleh Allah di setiap zaman dan tempat,
dalam rangka melaksanakan syariat Islam dan memimpin Muslim dan membeerikan
kepada umat keputusan hukum dan juga memecahkan permasalah hukum mereka.
Syiah
Imamiah Musawiyah telah mendapat pengalaman pahit
dengan “gerakan Waqifiyah“, yang mengklaim terjadinya “ghoibah” Imam
Musa al-Kazim (AS). Mereka menolaknyua karena kontradiksi dengan doktrin
“ghoibah“ dan filosofi Imamah. Oleh karena itu, Imam Ali bin Musa Ridha
(AS) berkata kepada mereka:
“Maha
suci Allah, Rasul Allah meninggal dan Musa tidak mati! Demi Allah dia telah
pergi kepada kemuliaannya sebagaimana Rasulullah (SAW) telah pergi“ (1)
Ia
menuduh Waqifiyyah (yang mengklaim bahwa ayahnya tidak mati) telah
berbohong dan kafir pada apa yang Allah SWT telah wahyukan kepada Muhammad
(saw). Ia berkata:
Jika
Allah memperpanjang masa kehidupan salah seorang dari bani Adam karena adanya
kebutuhan pada ciptaan tersebut bagi Dia, maka Dia akan memperpanjang umur Rasulullah
(saw). (2)
Imam
Rida sering beradu argumentasi dengan Waqifiyah tentang arti penting
dari “Imam” dan keutamaan kepercayaan mereka kepada Imamah, jika mereka
berkomitmen kepada Imam yang bersembunyi, yang tidak ada dalam kehidupan nyata.
Imam Rida menarik perhatian mereka tentang perlunya berinteraksi dengan Imam
yang ada yang hidup di dunia nyata. Ia menceritakan dari nenek moyangnya yang
berkata:
“Bukti
Allah pada ciptaan-Nya tidak akan tegak kecuali melalui seorang Imam yang hidup
dan dikenal. Barangsiapa mati tanpa (membaiat) seorang Imam, (maka ia) mati
jahiliyah…Ia (Imam tersebur) harus hidup dan Imam yang berilmu”…. Rasul Allah
(saw) telah berkata: Barangsiapa mati tanpa Imam yang maujud dan hidup (maka
ia) mati jahiliyah…seorang Imam yang hidup. (3)
Hal
ini mengungkapkan penolakan Imam Reda (AS) pada teori “ghoibah” pada zaman
Imam, dan karena tidakadanya bukti pada masyarakat tentang kejadian “ghoibah”,
dan perlunya kehadiran (dalam kehidupan nyata) seorang Imam didepan mereka dan
pengetahuan mereka tentang dia, melakukan perintahnya, mendengarkan dan
mematuhi dia dan berinteraksi dengan dia, jika diperlukan menurut Allah untuk
mengangkat seorang Imam.
Jadi,
doktrin “ghoibah” menimbulkan konsekuensi hukum yang kontradiksi secara
menyolok dengan kebutuhan akan adanya “Imam”, yang seharusnya memegang
kepemimpinan Muslim. Tidak diperbolehkan Imam menghilang dari arena. Jika kita
mengatakan sebagai contoh misalnya, bahwa negara harus menunjuk seorang petugas
lalu lintas di sebuah persimpangan jalan, lalu kita melihat dia tidak ada di
jalan ketika lalu lintas macet, ruwet dan anarki, maka ketidakhadiran petugas
tersebut di jalan raya karena dia ada di balik layar karena ghoib, menjadi
tidak bermanfaat karena lalu lintas telah menjadi macet, ruwet dan kacau. Hal
ini sangat jelas menurut akal sehat, yang tidak bisa diabaikan, atau dibenarkan
dengan hadits yang lemah.
Namun
demikian unsur-unsur teori okultasi telah menolak penggunaan akal sehat untuk
kasus ini, meskipun menggunakannya untuk menegakkan premis awal seperti:
keharusan adanya seorang Imam, keharusan ia “tidak berbuat salah” dan perlunya
ia ditunjuk oleh Allah. Ahmed bin Ishaq Al-Qummi salah satu dari tokoh doktrin
okultasi, melaporkan sebuah surat dari “Imam (Hujjah) puntra Hassan” yang menyatakan:
ia mengirim surat kepadanya sebagai jawaban atas sebuah surat yang telah
dikirim kepadanya yang menanyakan apa alasan ketidakhadirannya (okultasi/
ghoibah). Dikatakan dalam surat itu: “Jangan bertanya tentang hal-hal yang jika
menjadikan kamu paham, mungkin akan menimbulkan masalah!“. Berdasarkan ini
Syeikh Saduq berkata: Allah “tidak bisa dipertanyakan apa yang Ia perbuat,
ketika mereka akan ditanya“. Tidak bisa dikatakan kepadanya: “Kenapa?” atau
“Bagaimana?“…Hal sama dengan kasus menuculnya Imam, orang yang Allah telah
menjadikannya “tidak hadir”, maka Dia akan mengijinkan muncul kembali kapan
saja Dia berkehendak. (4)
Dia
juga mengatakan: Iman seorang hamba tidak sah hingga ia dalam pikirannya
menyandarkan tidak menentang terhadap apa yang telah diperintahkan, dan ia
menyerahkan semua urusan secara total, menerimanya tanpa dicampuri dengan
keraguan dan kecurigaan. Islam adalah penyerahan dan ketaatan (pada kehendak
Allah). Dan barangsiapa mencari agama selain Islam tidak akan diterima darinya,
dan di hari akhirat ia akan menjadi orang yang merugi. (5)
Al-Saduq
telah melaporkan hadits dari Imam Shadiq (as) yang mencoba membebaskan dia dari
menjelaskan atas hikmah dibalik “okultasi [sang pemilik urusan], Imam Mahdi”.
Bahwa karena suatu masalah, ia tidak diijinkan tampil di depan orang-orang. Ia
berkata: “Hikmah di balik itu tidak akan terungkap hingga setelah kemunculannya
… Ini adalah salah satu dari urusan Allah, sebuah rahasia dari rahasia Allah,
“Ghoibah” adalah dari Allah. (6)
Sheikh
Saduq telah menolak pijakan atas jalan akal dan perenungan dalam menyelidi
penyebab adanya okultasi, dan berkata: “Kebaikan umum (maslahah) hanya
diketahui oleh yang Maha Mengetahui semua yang ghoib, yang mengetahui apa yang
ada di pikiran dan semua konsekuensi, yang baginya rahasia tidak tersembunyi ….
(7).
Karajiki
telah meminta Syi’ah untuk berhenti memikirkan masalah ini, setelah percaya
kepada adanya Imam dan ketidakbersalahannya, dan bahwa dia tidak melakukan
apapun kecuali sesuai kehendak Allah, dan menyerhkan setiap langkah atau
tindakan atau posisi yang diambil (oleh Imam yang tidak berbuat salah), meski
dengan tidak tahu alasan dan tujuannya, dan ia berkata: “Tidak mengikat bagi
kami untuk mengetahui penyebabnya, dan bukan kewajiban kami untuk mengungkapkannya,
dan ketidaktahuan kami bukan hal yang buruk”. (8). Sheikh Tusi membantah
perlunya membicarakan penyebab okultasi Imam setelah menetapkan keberadaannya.
(9)
Setelah
pengakuan dari pilar teori okultasi bahwa tidak ada penjelasan yang masuk akal
dan pasti tentang okultasi, maka menjadi tidak perlu membahas berbagai laporan
dan teori yang telah mereka buat untuk menjustifikasi adanya okultasi seperti:
”hikmah yang tidak diketahui”, karena untuk “menyaring/ menyisihkan Syiah
(yang asli dan benar)”, atau kekhawatiran Shohib Al-Zaman (Imam Mahdi) dari
pembunuhan. Para perawi dari laporan seperti ini adalah para ekstrimis (ghuluw)
dan lemah (dho’if), dan kandungannya (sanadnya) tidak berhubungan dengan Mahdi
(Muhammad ibn Hasan al-Askari).
Sebagian
besar pengarang yang menulis tentang ghoibah seperti Mufid, Murtada dan Tusi
telah menghindar dari memakai teori “penyaringan” (ujian), kecuali Syekh Saduq
yang dalam beberapa hal masih menekankan pentingnya hal itu, bahkan ia menganut
teori sepenuhnya, terutama setelah punahnya generasi Syiah pertama, yang telah
mengalami ujian dan penyaringan hingga pada suatu tingkat tidak seorangpun yang
tersisa.
Saya
berfikir kita perlu berhenti hanya pada teori “kekhawatiran” yang mana oleh
beberapa theolog yang menjelaskan okultasi, seperti Sayyid Murtada, Syeikh Tusi
dan Karajiki (Bihar). Para pendukung teori “kekhawatiran” mendasarkan
pendapatnya pada sekumpulan laporan yang lemah dari sisi sanad dan matannya,
dan bersifat umum yang tidak menentukan nama Qoim (Imam Mahdi). Semua laporan
tersebut ditransmisikan dari Zurarah dari Imam Shadiq (as) lebih dari seratus
tahun sebelum meninggalnya Imam Hasan al-Askari.
Adalah
tidak mungkin menggunakan teori kekhawatiran dalam menafsirkan okultasi kecuali
setelah menerima sejumlah asumsi khayalan seperti terlebih dahulu menentukan
identitas Imam Mahdi dimana hal ini telah dibuktikan pada Bagian 2 sebagai
tidak valid. Demikian juga menganggap adanya ketegangan politik antara bani
Alawi dengan dan penguasa bani Abbasiyah. Hal ini akan dibantah pada bab lain.
Dan juga mengatakan bahwa Imam Mahdi adalah penutup dari imam dua belas, dan
teori ini pada awalnya belum ada, dan muncul pada abad keempat AH. Demikian
juga pernyataan tentang pelarangan Imam Mahdi dalam menggunakan “kepura-pura”
(taqiyyah) dan penyembunyian identitasnya hingga hari kemunculannya, maka hal
ini bertentangan dengan kebijakan Imam-imam sebelumnya, yang tidak ada
justifikasinya sama sekali.
Dari
semua itu, teori kekhawatiran terlalu jauh dari etika dan perilaku Ahl al-Bayt
(AS), dimana mereka mencintai mati syahid karena Allah. Teori tersebut
menimbulkan pertanyaan serius tentang rahasia di balik Allah yang Penyayang
tidak menjaga Mahdi, jika diasumsikan dia memang ada, sebagaimana Allah
melindungi Nabi Musa dan menyelamatkan dia dari Firaun, dan sebagaimana juga
Allah menjaga Rasul Muhammad (SAW) yang telah dinubuwwatkan sebelumnya.
Disamping
fakta bahwa para Imam dari Ahl al-Bayt (AS) sebelumnya tidak menentukan
identitas Mahdi, dengan menerima argumen ini, masih tetap akan menimbulkan
pertanyaan kontroversial tentang rahasia di balik pengumuman nama Ahlul Bait
yang akan menjadi Qoim yang dilakukan sebelum kelahirannya, jika mereka tahu
bahwa ia akan mengalami tekanan? Mengapa mereka tidak membiarkan agar tetap
merupakan rahasia hingga waktu kemunculannya, sedemikian rupa sehingga aakan
menyelamatkan Mahdi dari kejaran musuh sejak lahir dan masa kanak-kanak?
Jika
teori kekhawatiran terhadap musuh itu valid, lalu mengapa Mahdi tetap
menyembunyikan dirimya dari sekutu-sekutunya? Ratusan juta Syi’ah sepanjang
sejarah selalu menunggu (Imam Mahdi) dan menyatakan kesiapan untuk mendukung
dia, bahwa beberapa Negara telah berdiri berdasarkan keyakinan tentang dia,
namun kenapa dia tidak muncul, padahal tidak ada keadaan yang perlu ditakutkan
pada zaman itu?
Ini adalah beberapa pertanyaan yang diajukan oleh beberapa kepala negara Syiah Buwaihiyah yang telah tegak pada abad keempat AH, sebelum Syekh Mufid, menuntut jawaban. Namun Mufid mengalihkan jawaban kepada Tuhan dan berkata: “Rahasia dibalik okultasi hanya diketahui oleh Allah”. Saya mengenal sejumlah besar Syiah di bawah Negara Buwaiyah, tetapi mempertanyakan ketulusan, keberanian dan kesalehan mereka. (10)
Ini adalah beberapa pertanyaan yang diajukan oleh beberapa kepala negara Syiah Buwaihiyah yang telah tegak pada abad keempat AH, sebelum Syekh Mufid, menuntut jawaban. Namun Mufid mengalihkan jawaban kepada Tuhan dan berkata: “Rahasia dibalik okultasi hanya diketahui oleh Allah”. Saya mengenal sejumlah besar Syiah di bawah Negara Buwaiyah, tetapi mempertanyakan ketulusan, keberanian dan kesalehan mereka. (10)
Dan
sekarang …. Setelah lebih dari seribu tahun sejak lahirnya teori kekhawatiran
untuk membenarkan doktrin okultasi – dan setelah jatuhnya puluhan negara dan
beridirnya Negara baru lainnya, doktrin tersebut nampak sangat jauh dari
realitas dan tidak mempunyai kredibilitas apapun, dan tidak lebih dari sekedar
hipotesis dan ilusi untuk membenarkan hipotesis tentang keberadaan Imam
(Muhammad bin Hasan al-Askari) dan fenomena bersembunyinya Imam Mahdi
bertentangan dengan tanggung jawabnya sebagai Imamah yang dibebankan oleh
Allah.
Hal
ini membuktikan ketidakabsahan hipotesis kelahiran dan keberadaan “Imam Hujjah
putra Hassan, dan jika ia benar-benar ada, maka wajib bagi dia untuk muncul dan
melakukan tugas kepemimpinannya pada kesempatan pertama yang memungkinkan dia
untuk melakukannya, dan tidak diperbolehkan meninggalkan umat tanpa
kepemimpinan yang sah.
Para
pendukung teori kekhawatiran telah meminta kepada kaum Syiah untuk tidak
mempertanyakan alasan mengapa Imam Mahdi pergi okultasi (ghoibah), yaitu dengan
cara menegakkan keberadaanya, mempersiapkan untuk mendukung dia, atau membantu,
memperkuat dan berkorban untuk dia dan menerimanya dan berhenti mendukung si
penindas, dan memanggil kemunculannya. Sayyid Murtada telah berkata di dalam
‘Al-Syafi': “Mukallifin (mereka yang dianggap bertanggung jawab secara legal)
dapat melakukan sesuatu yang dapat mendorong lenyapnya taqiyyah Imam,
kekhawatirannya yang akan mewajibkan dia untuk muncul/ tampil. .. Kami telah
menjelaskan bahwa alasan okultasi Imam adalah tindakan yang tidak adil dari
para penguasa dan kegagalan mereka dalam melakukan aktifitas mereka yang
diperlukan untuk menegakkan kekuasaan Imam dan menjadikan Imam bebas dan
memberikan dia kekuasaan penuh atas mereka. Kami juga telah menjelaskan bahwa
alasan positif perlunya okultasi adalah agar mereka (orang-orang beriman yang mendapat
tanggung jawab) dapat mencapai tujuan mereka dengan cara menghilangkan keadaan
yang menjadi penyebab okultasi, sedemikian rupa sehingga Imam akan muncul dan
mereka akan mendapatkan manfaat dari administrasi pemerintahan dan kebijakan
Imam. (11)
Pada
hari ini sudah tidak ada kekhawatiran tersebut, dan Syii telah menghapus alasan
yang mendorong Imam untuk ghoibah, dan mereka telah siap untuk mendukung Imam
dan telah bertekad untuk memperkuat dan menyerahkan diri mereka kepad Imam.
Mereka juga telah berhenti mendukung penguasa yang tidak adil, dan telah selalu
memanggilnya agar keluar (dari tempat persembunyiannya), tetapi tidak
keluar-keluar! Meskipun Sayid Murtada menyatakan bahwa adalah wajib bagi dia
keluar/ muncul, namun Imam (kalau memang benar-benar ada) tidak melakukannya.
Syekh
Saduq di dalam Ikmal al-Din telah menyangkal untuk menerima keyakinan
Waqifiyyah tentang adanya okultasi (ghoibah) Imam Musa al-Kadhim dan bahwa ia
adalah Mahdi, karena umur dia yang telah melampaui umur alamiah manusia normal.
Nmun di sisi lain ia dan Tusi telah melaporakan hadits yang menyatakan bahwa
umur al-Mahdi dapat selama umur Nuh (AS), dan adanya kemungkinan Allah menunda
pemerintahannya karena beberapa alasan demi kebaikan. (12)
Referensi:
- Kulayni: Al-Kafi, vol. 1 hal. 380.
- Al-Kashi: Al-Rijal, hal. 379.
- Kulayni: Al-Kafi, vol. 1 hal. 177, Al-Himyari: Qurb al-Isnad, hal. 203.
- Ikmal al-Din, hal. 88.
- Ibid, hal. 531.
- Saduq: Ilal al-Shara’i, hal. 246, Al-Amali, hal. 426.
- Al-Fusul al-Mukhtarah Masalah fi al-Ghoybah, hal. 266 dan 269.
- Al-Karajiki: Kanz al-Fawaid, vol. 1 hal. 371.
- Tusi: Al-Ghaoybah, hal. 3 – 4.
- Mufid: Al-Amali, hal. 390.
- Al-Shafi, vol. 1 hal. 147.
- Tusi: Al-Ghaoybah, hal.76 dan 78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar